Jakarta (ANTARA News) - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai pelemahan rupiah lebih disebabkan faktor sentimen daripada fundamental.

"Antrean yang sangat panjang di sejumlah money changer (tempat penukaran uang) menunjukkan masyarakat semakin panik dan ini membuktikan faktor sentimen lebih besar," katanya kepada Antara di Jakarta, Jumat.

Rupiah pada Jumat pagi menyentuh Rp11.035 per dolar AS atau kembali bergerak melemah sebesar 175 poin AS dibanding sebelumnya yang masih berada di posisi Rp10.086 per dolar AS.

Selama 2013, rupiah juga telah mengalami penurunan sebesar 13,5 persen.

Enny mengatakan pelemahan rupiah dimulai sejak awal 2012 yang terus menurun sekitar Rp100 per bulan.

Namun, menurut dia, kondisi tersebut tidak akan sampai berdampak pada krisis yang pernah terjadi pada 1998.

"Waktu tahun 1998, itu sangat multidimensional karena kondisi politik juga dan semua `campur aduk`. Mungkin orang-orang khawatir kondisi itu akan terulang, tapi kepanikan ini bukan gambling (perhitungan judi)," katanya.

Dia menjelaskan pelemahan rupiah tersebut menyebabkan defisit transaksi berjalan selama tujuh triwulan berturut-turut.

Enny menyebutkan, hingga akhir 2012, defisit transaksi berjalan anjlok hingga 4,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2013 mencapai 9,8 dolar AS yang disebabkan besarnya importasi barang dan jasa dibandingkan dengan ekspor.

Akibatnya, neraca pembayaran juga mengalami defisit sebesar 2,47 miliar dolar AS pada triwulan II 2013.

Enny memperkirakan rupiah akan terus tertekan apabila importasi sulit dikendalikan, sementara itu kebutuhan dolar akan terus bertambah seiring dengan jatuh tempo pembayaran utang luar negeri bagi sebagian besar perusahaan serta suku bunga yang tinggi di dalam negeri.

Sementara itu, pemerintah telah mengeluarkan empat paket kebijakan untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah.

Kebijakan pertama tersebut, yakni mendorong ekspor dan memberikan tambahan pengurangan pajak untuk ekspor padat karya yang memiliki ekspor minimal 30 persen dari total produksi, menurunkan impor minyak dan gas dengan mendorong penggunaan biodiesel, menetapkan pajak impor barang mewah dari sekarang 75 persen menjadi 125 - 150 persen, dan memperbaiki ekspor mineral dengan memberikan relaksasi kuota. 

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Fitri Supratiwi
COPYRIGHT © ANTARA 2013