Sana`a (ANTARA News) - Pepatah Arab yang berbunyi "musibatu qoumin enda qoumin fawaidu" (musibah suatu kaum membawa manfaat bagi kaum lainnya), pas untuk menggambarkan pembantaian biadab tentara Israel terhadap warga sipil desa Qana, selatan Libanon. Peristiwa holocaust (pembantaian total terutama dengan pembakaran) yang menyayat hati hampir seluruh umat Islam terutama bangsa Arab itu, telah membawa manfaat yang luar biasa pengaruhnya. Pengaruh yang paling penting untuk dicatat adalah peristiwa berdarah di Qana itu telah memupuskan "kecurigaan" yang hampir menjurus kepada "perang" idiologi mazhab (Sunni-Syiah) yang sempat mencuat pada awal-awal agresi Israel ke Lebanon sejak lebih dari tiga pekan lalu. Hizbullah yang merupakan sayap militer kelompok Muslim Syiah, merupakan satu-satunya yang tersisa dari gerakan perlawanan bersenjata Arab dengan perlengkapan dan personil terlatih yang masih memadai untuk menghadapi upaya hegemoni negeri Yahudi. Sudah barang tentu, "kehebatan" Hizbullah tersebut telah menumbuhkan rasa "cemburu buta" sebagian pemerintahan Arab (yang mayoritas Sunni) yang didukung oleh sebagian kecil ulama Sunni. Memang perlawanan Sunni masih tersisa di Palestina, sebut saja misalnya gerakan Hammas dan Al-Jihad Al-Islami. Namun kedua gerakan tersebut tidak bisa menciptakan balance of fear (keseimbangan ketakutan) dengan Israel. Yang lebih sering dimanfaatkan oleh kedua gerakan yang hidup terjepit di daerah pendudukan Israel itu untuk menciptakan keseimbangan dimaksud adalah bom mati syahid yang disebut bom bunuh diri oleh Barat dengan target warga sipil. Namun dengan perubahan situasi dunia pasca peristiwa 11 September 2001, kedua gerakan tersebut untuk sementara menahan diri untuk enggunakan "bom manusia" guna mengantisipasi kecaman dunia. Meskipun tentara zionis Israel selalu melakukan teror negara dengan menargetkan warga sipil, namun tudingan aksi terorisme hanya dialamatkan kepada dua gerakan perlawanan Sunni di Palestina tersebut. Maka tinggallah yang tersisa Hizbullah sebagai simbol perlawanan Arab terhadap kesewenangan Israel saat ini. Gerakan yang secara resmi terlahir dari kandungan bumi Lebanon saat agresi tahun 1982 itu, merupakan perlawanan Arab yang paling menghantui Israel. Berbagai aksi militer, baik terbatas maupun secara meluas, yang dilancarkan Tel Aviv, tidak pernah mampu "mematikan" Hizbullah hingga tiba saatnya menggunakan payung PBB lewat resolusi nomor 1559 pasca kematian mantan PM Rafiq Hariri pertengahan Februari 2005. Resolusi tersebut sebagai landasan sah yang ingin dimanfaatkan AS dan Israel yang didukung Barat untuk melucuti senjata Hizbullah sekaligus mengakhiri riwayat gerakan yang selalu menghantui negeri Yahudi itu. Gebrakan Israel Penculikan dua tentara Israel oleh Hizbullah setelah terlebih dahulu menewaskan delapan lainnya, dimanfaatkan Tel Aviv sebagai dalih untuk melakukan serangan meluas dalam rangka mempercepat penerapan resolusi tersebut. Namun, dari aksi negara zionis itu kali ini adalah gebrakan yang dilakukan dengan mengklaim bahwa perang tersebut bertujuan untuk menghancurkan Hizbullah dan warga Syiah yang mendukungnya. Gebrakan itu memang dibuktikan di lapangan di mana penghancuran dikonsentraksikan di kawasan yang berpendukuk mayoritas Syiah agar timbul kesan bahwa negeri zionis itu "tidak memusuhi" kaum Muslim Sunni. Bagaikan gayung bersambut, sejumlah pemerintahan Arab Sunni melimpahkan tanggungjawab kepada Hizbullah atas eskalasi tersebut dan menyebut perlawanan tersebut sebagai "petualangan tanpa perhitungan" untuk kepentingan pihak tertentu. Hampir dapat dipastikan bahwa pihak yang dimaksud adalah dua negara sekutu Hizbullah yakni Iran yang mayoritas Syiah dan Suriah yang meskipun berpenduduk mayoritas Sunni, namun pemerintahannya adalah mayoritas Syiah. Belum sembuh rasa sakit akibat "pukulan" dari luar, pukulan dari dalam pun muncul dengan pernyataan PM Fuad Siniora dari kalangan Sunni yang menilai bahwa Hizbullah tidak berkonsultasi dengan pemerintah sehingga tanggung jawab hanya dibebankan pada gerakan tersebut. Belum sampai di situ, beban yang harus ditanggung Hizbullah bertambah berat ketika salah seorang ulama Arab Sunni menyerukan kaum Sunni untuk tidak mendukung Hizbullah yang Syiah. Tapi Sekjen Hizbullah Hassan Nasrallah dengan tenang merespon semua "pukulan" tersebut dengan mengatakan "cukuplah bangsa Arab dan umat Islam yang mendukung perlawanan ini yang merupakan perlawanan umat bukan perlawanan golongan tertentu". Memang benar, di tingkat rakyat, sama sekali tidak ada perbedaan antara perlawanan Syiah dan Sunni. Semua bangsa Arab akan gembira dengan setiap keberhasilan perlawanan baik Hizbullah (Syiah) maupun Hammas dan Al-Jihad (Sunni). Di tingkat mayoritas ulama Sunni pun tidak membedakan antara Sunni dan Syiah. "Mereka yang memfatwakan tidak mendukung Hizbullah karena Syiah, tidak mengerti fiqh politik dan fiqh peperangan," kata Prof. Dr. Yusuf Qaradawi, Ketua Asosiasi Ulama Muslimin Dunia yang beraliran Sunni. Target lama Gebrakan Israel untuk menciptakan "saling curiga" antar ideologi dan mazhab itu bukanlah hal baru, namun merupakan target lama yang sudah dicanangkan sejak 1954. Menurut majalah "Al-Taleea" Mesir, mendiang PM Israel Ben Gurion dan tokoh zionis lainnya Moshe Sharet telah mencanangkan "perang antar golongan dan mazhab" di Lebanon sebagai cara melemahkan negeri itu. Sebuah majalah Israel juga memuat rencana Gurion itu pada edisi 29 Oktober 1971 menegaskan tentang kebenaran rencana yang sedianya sudah dapat dilaksanakan pada 1954. Namun rencana busuk tersebut selalu gagal, karena tidak mendapat dukungan dari kalangan elit politik di dalam negeri. Hingga agresi yang terjadi mulai 12 Juli, Tel Aviv mencoba kembali "senjata" idiologi mazhab tersebut. Namun negeri itu salah perhitungan dengan aksi biadabnya yang ditujukan kepada target sipil Syiah sebab holocaust kedua di Qana telah memupuskan segalanya. Sunni-Syiah makin bersatu baik di tingkat resmi maupun di tingkat rakyat dan ulama di Lebanon sendiri dan di dunia Arab umumnya. Semua menjunjung tinggi rasa karamah (harga diri) Arab yang telah di perjuangkan Hizbullah. "Karamah bangsa Arab diwakili Hizbullah dan Sayid Hassan Nasrallah. Kita harus mendukungnya dengan segala kemampuan," demikian yel-yel yang diteriakkan para politikus, ulama, dan rakyat dalam unjuk rasa anti kekejaman Israel pasca holocaust itu. Pelajaran lain yang mestinya dicatat bangsa Arab terutama di tingkat resmi adalah budaya "permusuhan" Sunni-Syiah adalah siasat Israel untuk melemahkan dunia Arab. Menjadi kemaslahatan Arab untuk tidak mengedepankan budaya permusuhan tersebut, namun lebih mengedapankan budaya persatuan Sunni-Syiah untuk menggagalkan strategi musuh dari luar (AS-Israel) seperti yang diinginkan seluruh bangsa Arab.(*)

Oleh Oleh Musthafa Luthfi
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006