Pajak bisa berfungsi sebagai alat untuk memeratakan pendapatan dan kesejahteraan sosial yang pada ujungnya demi mewujudkan keadilan sosial.

Namun, bagi Rochmad Djohar, akademisi senior ilmu pajak dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga, Surabaya, dalam pajak sebenarnya sudah terkandung unsur keadilan. Unsur itu adalah pengenaan pajak yang proporsional terhadap wajib pajak.

"Orang dengan pendapatan tinggi, dikenai tarif pajak yang tinggi, sebaliknya yang berpenghasilan rendah dikenai tarif pajak yang rendah. Namun jika Anda rugi, tak ada pajak yang mesti Anda bayarkan," kata pengajar senior perpajakan Universitas Airlangga ini.

Djohar meneruskan, ketidakharusan membayar pajak karena merugi ini dikompensasikan sampai wajib pajak memperoleh keuntungan, dan ini berlaku bisa sampai lima tahun berturut-turut sampai keuntungan diperoleh kembali si wajib pajak.

Dengan prinsip adil seperti ini, sambung Djohar, "Tak ada orang yang miskin karena membayar pajak", mengingat pengenaan tarif pajak didasarkan pada kuantitas pendapatan.

Namun, inovasi pengenaan tarif pajak haruslah tetap dilakukan secermat mungkin, termasuk pemikiran untuk mengenakan pajak kekayaan untuk para triliuner Indonesia yang nilai kekayaannya menurut majalah Forber edisi November 2011 lalu meningkat 19 persen dan ini terutama karena kontribusi saham.

Pandangan ini pula didasarkan pada catatan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak di mana selama 2011 ada 1.200 orang kaya yang terdaftar sebagai wajib pajak namun hingga Maret 2012, mereka hanya menyetorkan pajak ke negara sebesar Rp1,2 triliun atau rata-rata Rp1 miliar setiap orang.

Menurut Rochmad Djohar, ide ini tidak diperlukan karena selama ini setiap transaksi saham, apakah itu rugi atau untung, selalu dikenai pajak. Yang justru disarankan Djohar adalah kontrol kekayaan dan kewajiban memiliki nomor rekening yang keduanya adalah domain Bank Indonesia.

Lantasi mana Ditjen Pajak bisa berperan?  "Ditjen Pajak tentunya mesti berkoordinasi dengan Bank Indonesia," kata Djohar, seraya menyebut identitas tunggal untuk setiap transaksi dan aktivitas keuangan sehingga proses aktivitas menjadi efisien.

Kemudian, unsur keadilan pada sistem pemungutan pajak seperti disebut di atas, semestinya juga berkorelasi dengan sistem distribusi atau alokasi pemanfaatan pajak, apalagi pajak pada dasarnya dipungut demi memajukan pembangunan dan mendorong masyarakat memiliki kesempatan-kesempatan sama dalam memajukan diri.

Menurut Djohar, pajak sendiri memiliki dua fungsi strategis. Yaitu, fungsi budgeter, yaitu sebagai alat pemerintah untuk mengumpulkan dana sebesar-besarnya untuk pembangunan dan pembiayaan pembangunan.

Fungsi berikutnya adalah fungsi reguler, yaitu demi tujuan-tujuan tertentu.  "Misalnya untuk menaikkan atau merangsang ekspor, maka pemerintah mengenakan pajak nol persen," kata Djohar.

Sederhananya, fungsi pajak itu mulia, yaitu menciptakan keadilan dan kesetimbangan, tidak saja dalam upaya membangun nasional, namun juga demi keadilan sosial dan pemerataan, baik kesempatan maupun berpendapatan.

Namun tidak dapat dipungkiri lagi bahwa distribusi pajak mengalami kesenjangan, terutama antara pusat dan daerah, atau antar golongan mampu dengan golongan tidak mampu.

Tentu saja, kesenjangan ini tak berasal dari Ditjen Pajak karena Ditjen Pajak hanya bertugas mengumpulkan pajak, sedangkan alokasi penggunaan dan mekanisme pendistribusian pajak menjadi wewenang DPR/DPRD dan kementerian-kementerian Negara yang terkait dengan pemanfaatan uang pajak.

Tetapi, bagi Rochmad Djohar, sistem distribusi dan alokasi pajak antara pusat dan daerah sudah dirancang dengan mempertimbangkan unsur keadilan, memakai perbandingan 80 persen untuk pusat dan 20 persen untuk daerah.

Djohar mengakui sekilas ini seperti tidak memenuhi unsur keadilan, tetapi rasio demikian justru diterapkan dengan mempertimbangkan kepentingan daerah, selain menghindarkan KETIMPANGAN http://www.pajak.go.id/content/article/kemandirian-ekonomi-dari-pajak-dan-tegaknya-kestabilan-sosial-masyarakat) antardaerah.

Kini, yang semestinya dilakukan otoritas pajak adalah meyakinkan masyarakat dan wajib pajak bahwa manfaat membayar pajak itu memang mereka rasakan. "Masyarakat harus memperoleh informasi yang jelas mengenai manfaat pajak yang mereka bayarkan.  Jangan sampai muncul pandangan ‘untuk apa membayar pajak karena masyarakat misalnya melihat jalan-jalan rusak," kata pengajar senior FEB Universitas Airlangga ini.

Dalam kaitan ini, sistem penyebaran mengenai sejauh mana dana-dana pajak dialokasikan untuk pembangunan, baik di pusat maupun daerah, menjadi mutlak.  Sistem penyebaran informasi ini diantaranya dilakukan dengan memanfaatkan website yang bisa diakses dengan mudah dan massal oleh publik.

Masyarakat dan wajib pajak harus mendapatkan keyakinan yang seimbang bahwa antara biaya yang dimanfaatkan, entah itu dalam APBN maupun APDB, dikelola dan diinformasikan secara transparan, kata Djohar.

Dia sendiri melihat sistem pengelolaan pajak dan informasi alokasi pajak memang sudah bagus, namun ini kerap tidak dibarengi oleh membaiknya kualitas sumber daya manusia pajak.

Editor: Copywriter
COPYRIGHT © ANTARA 2013