Jakarta (ANTARA News) - Selama 60 tahun Pancasila belum berperan sebagai ideologi negara dan sebagai sumber hukum materil bagi sistem hukum nasional, karena sifatnya yang umum dan abstrak. "Suatu nilai yang umum dan abstrak, seharusnya dirumuskan lebih dulu menjadi nilai yang bersifat khusus dan konkret melalui proses pembentukan pemahaman, sebelum diberi bentuk yuridis agar berlaku sebagai norma hukum positif," kata Pakar Hukum dari UI, Muchyar Yara, di Jakarta, Kamis. Kenyataannya, ujarnya, selama 60 tahun, Pancasila yang ditetapkan sebagai Dasar Negara tak pernah dijelaskan dalam teori sosial, politik, atau ekonomi Pancasila, tetapi dibiarkan saja multitafsir. "Peraturan hukum peninggalan masa penjajahan dalam sistem hukum nasional yang cukup besar menjadi tambahan bukti bahwa Pancasila belum berperan sebagai sumber hukum tertinggi sebagai asas hukum materiil," katanya. Meski hukum peninggalan kolonial itu tak bertentangan dengan Pancasila secara formal, ujarnya, namun dapat dipastikan bahwa secara materiil isi dari norma-norma yang terkandung dalam sistem hukum nasional bukan bersumber dari Pancasila. Karena itu, ujarnya, wajar jika dari waktu ke waktu terjadi kandungan norma-norma hukum positif berisikan nilai-nilai non-Pancasila dan nilai-nilai dasar bersama yang lain bagi pedoman bangsa dan negara. Komunisme saja yang memiliki konsep dan teori lengkap tentang ekonomi komunis, politik, dan sosial berlandas komunis bisa runtuh, apalagi Pancasila yang tak dijelaskan maksudnya. Kekosongan Kekosongan pemahaman dan teori Pancasila, ujarnya, menyebabkan nilai dasar bersama yang terkandung dalam Pancasila tidak dapat dirumuskan sebagai asas hukum materiil dan akhirnya tak dapat diserap norma-norma sosial positif sebagai pedoman perilaku bangsa. "Wajar saja demokrasi liberal dan terpimpin di masa Orla, demokrasi Pancasila di masa Orba dan demokrasi reformasi semua mengklaim berideologi Pancasila," katanya. Jika dilakukan penelitian mengenai nilai-nilai dasar bersama, hasilnya akan terdiri atas empat alternatif, yakni nilai Pancasila masih dianut sesuai aslinya, atau dianut tetapi sesuai perkembangan zaman. Alternatif berikutnya, rakyat ternyata menganut nilai-nilai baru yang berbeda dengan Pancasila, dan terakhir rakyat tak lagi memiliki nilai-nilai dasar bersama atau vakum ideologi. "Kalau ternyata kondisi masyarakat Indonesia sudah pada alternatif keempat itu yang sulit, karena bangsa ini berarti tak bisa bersepakat dalam ideologi dan mengarah pada pembubaran negara dan bangsa," katanya. Karena itu, menurut dia, model dasar negara yang paling cocok untuk Indonesia adalah nilai-nilai dasar bersama yang telah dianut segenap mayoritas rakyat selama ini, apakah itu bersumber dari Pancasila atau dari sumber lainnya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006