Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menyatakan biaya perkara yang ditetapkan untuk dibayarkan oleh pihak yang berperkara bukanlah pungutan liar (pungli). "Itu bukan pungli. Masa` MA mau menarik pungli," kata Sekretaris MA Rum Nessa, di Gedung MA, Jakarta, Kamis. Rum mengatakan itu menanggapi pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution bahwa MA melakukan pungli karena dari besarnya biaya perkara yang ditetapkan Rp500 ribu hingga Rp2,5 juta, MA hanya menyetorkan Rp1.000 kepada negara. Anwar bahkan menyamakan MA dengan praktik pungli yang ada di kelurahan untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). "Masa` lembaga tinggi dibilang kelurahan," ujar Rum. Ia menjelaskan penetapan besarnya biaya perkara menurut UU No 14 tahun 1985 yang diubah dengan UU No 5 Tahun 2004 tentang MA memang diserahkan sepenuhnya kepada ketua MA untuk biaya perkara tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Sedangkan untuk pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, Ketua Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) yang berwenang menentukan. Rum juga menjelaskan biaya perkara hanya ditetapkan untuk kasus perdata, sedangkan perkara pidana tidak dikenakan biaya. Besarnya biaya perkara kasasi untuk perkara perdata umum ditentukan oleh Ketua MA Bagir Manan melalui SK No KMA/42/SK/III/2002 yang dikeluarkan pada 7 Maret 2002. SK tersebut merupakan hasil rapat pimpinan MA pada 19 Februari 2002 yang menaikkan biaya perkara kasasi perdata umum, perdata agama, dan Tata Usaha Negara (TUN) dari Rp200.000 menjadi Rp500.000 yang berlaku sejak 1 April 2002. Sedangkan biaya perkara perdata dan TUN untuk tingkat PK ditetapkan melalui SK No KMA/042/SK/VIII/2002 yang ditandatangani Bagir Manan pada 20 Agustus 2001. SK itu menaikkan biaya perkara dari Rp500.000 menjadi Rp2,5 juta untuk permohonan PK perdata umum, perdata agama, dan TUN yang mulai berlaku pada 1 September 2001. Pada 16 Januari 2002, Bagir juga mengeluarkan SK No KMA/02/SK/I/2002 yang menetapkan besarnya biaya perkara perdata niaga sebesar Rp2,4 juta. Rum menjelaskan besarnya biaya perkara itu ditentukan dalam rapat pimpinan MA. Biaya itu, lanjut dia, benar-benar untuk penyelesaian perkara setelah dipotong Rp1.000 untuk disetorkan ke kas negara sebagai Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP). Besarnya potongan PNBP itu, kata Rum, berdasarkan SK Menteri Keuangan yang lama, yang dikeluarkan pada tahun 1960-an. "SK itu yang kita pakai karena memang belum ada lagi SK yang baru," ujarnya. Rum menjelaskan biaya perkara itu selain untuk menyelesaikan perkara, juga digunakan sebagai subsdi silang untuk menyelesaikan perkara pidana yang tidak ada biayanya. "Memang peraturannya seperti itu, bahwa hanya pihak berperkara perdata yang ditarik biaya, sedangkan perkara pidana tidak. Jadi kita gunakan subsidi silang," tuturnya. Rum mengatakan biaya perkara di tingkat MA dan pengadilan di bawahnya tidak termasuk penggunaan biaya yang diaudit oleh BPK.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006