Palu (ANTARA News) - Tim Pembela Muslim (TPM) Sulawesi Tengah menilai pemberitaan media massa akhir-akhir ini seolah-olah menganggap bahwa Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu sebagai "pahlawan" sehingga harus dibela, padahal sesungguhnya mereka adalah aktor lapangan yang membantai dengan cara sadis banyak manusia tak berdosa saat pecah konflik horizontal di Poso pada pertengahan tahun 2000. "Saya kecewa dengan pemberitaan akhir-akhir ini sebab seolah-olah Tibo dkk itu diperlakukan sebagai pahlawan yang harus dibela. Ini masalah serius yang harus diluruskan oleh semua pihak," kata Ketua TPM Sulawesi Tengah (Sulteng) Asludin Hatjani SH kepada ANTARA News di Palu, Sabtu. Pernyataan tersebut disampaikan Hatjani menanggapi pemberitaan media massa nasional dan lokal di tanah air berkaitan tertundanya pelaksanaan eksekusi mati terhadap Tibo dkk, termasuk yang kedua kalinya pada hari Sabtu (12/8) pukul 00:15 waktu setempat. Sebelumnya, Kejaksaan Agung menjawadkan pelaksanaan eksekusi mati terhadap Tibo dkk pada Maret 2006. Namun eksekusi itu gagal karena penyidik Polda Sulteng masih memerlukan keterangan mereka untuk mengungkap para pelaku pembantaian massal di sejumlah tempat di Kabupaten Poso seperti yang terjadi di kompleks Pesantren Walisongo, Kelurahan Sintuwulembah di Kecamatan Lage (sembilan kilometer arah selatan kota Poso) dan di dusun Buyung Katedo (desa Silanca, Lage). "Sangat banyak saksi korban yang selamat menuturkan bahwa ketiga orang itu merupakan komandan lapangan dalam aksi-aksi penyerangan tersebut, selain dengan tangan mereka sendiri melakukan pembunuhan secara sadis terhadap banyak manusia tak berdosa," tutur Hatjani yang selama lebih lima tahun memberikan advokasi terhadap para korban kerusuhan Poso. Bahkan, saat menjalani pemeriksaan di Pengadilan Negeri (PN) Palu awal tahun 2001, 19 dari 20 saksi yang berada di bawah sumpah ketika itu menuturkan bahwa Tibo, Dominggus, dan Marinus tidak saja melakukan pembunuhan dengan cara sadis terhadap banyak manusia, tapi juga terlibat dalam kejahatan penganiayaan bersama-sama serta pembakaran rumah-rumah penduduk. Mengenai pernyataan sejumlah pengacara yang tergabung dalam Perhimpunan Advokasi dan Perdamaian (PADMA) Indonesia bahwa Tibo dkk merupakan korban dari sebuah peradilan sesat, Hatjani mengatakan mereka itu adalah "orang luar" yang tak mengetahui bagaimana sebenarnya tindakan Tibo dkk saat pecah kerusuhan besar di Poso beberapa waktu lalu. "Jika mau jujur, jangan hanya mendasarkan pada keterangan satu pihak. Silahkan tanyakan langsung kepada saksi korban yang selamat dan hingga kini masih hidup," kata dia, seraya menambahkan ada ratusan janda dan anak-anak korban kerusuhan Poso yang kehilangan orangtuanya akibat tragedi berdarah di berbagai tempat dalam wilayah Poso bisa dimintai keterangan. Hatjani juga mengatakan, secara logika hukum bahwa dengan diajukannya dua kali permohonan pengampunan (grasi) kepada presiden oleh Tibo, Dominggus, dan Marinus, itu berarti ketiga terpidana mati ini telah mengakui segala perbuatannya seperti yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum sebelumnya. TPM Sulteng juga memprotes Kejaksaan Agung dan Mabes Polri yang membatalkan pelaksanaan eksekusi mati kedua kalinya terhadap Tibo dkk. Eksekusi keduanya kalinya itu sebelumnya sudah dijadwalkan Kejati Sulteng yakni dilaksanakan dalam wilayah hukum PN Palu pada hari Sabtu (12/8) pukul 00:15 WITA. Dia bahkan menduga penundaan pelaksanaan eksekusi mati terhadap Tibo dkk semata-mata dikarenakan kuatnya intervensi asing, sebab setengah hari menjelang pelaksanaan eksekusi tersebut semua persiapan (teknis dan administratif) sudah final. Atas dasar itu, TPM Sulteng meminta pemerintah SBY-Kalla untuk tetap menjunjung tinggi pelaksanaan sistem hukum di Tanah Air dan menolak segala bentuk intervensi asing, terutama berkaitan dengan masalah peradilan.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006