Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengatakan pejabat negara sebaiknya tidak mengomentari putusan pengadilan yang sudah bersifat final dan mengikat. Jimly pada konferensi pers peringatan ulang tahun ketiga MK di Gedung MK, Jakarta, Senin, mengemukakan pejabat negara tidaklah sama dengan warga negara biasa yang memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. "Warga negara biasa memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya, tetapi pejabat negara tidak. Pejabat sudah terikat dengan norma-norma yang mengikat dia dengan jabatannya, sehingga putusan pengadilan yang sudah final tidak usah dikomentari oleh pejabat, apalagi pejabat eksekutif," tuturnya. Ia menambahkan pejabat hanya boleh berkomentar seputar persoalan yang masih berkaitan dengan jabatannya. "Kalau mau bebas bicara seperti warga negara biasa, sebaiknya dia mundur dari jabatannya," ujar Jimly. Jimly menyampaikan pernyataan tersebut sebagai tanggapan beberapa pihak yang menilai MK seringkali mengeluarkan keputusan kontoversial dalam perkara uji materiil UU yang ditanganinya. Namun, Jimly memilih untuk mendiamkan penilaian tersebut. Ia mengatakan biar saja masyarakat yang menilai. "Kontroversi satu sampai dua minggu itu biarkan saja, nanti masyarakat juga mengerti. Itu yang kita alami selama tiga tahun ini," katanya. Selama tiga tahun sejak dibentuk pada 2003, MK telah memutus 81 perkara uji materiil UU. Putusan MK yang dinilai kontroversial di antaranya adalah putusan yang menghilangkan delik materiil dari rumusan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tipikor serta UU No 30 Tahun 2002 yang tidak boleh berlaku surut. Putusan MK yang menghapus delik materiil dalam UU Pemberantasan Tipikor telah memancing reaksi beberapa pihak, di antaranya Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang langsung menggelar konferensi pers dan menyatakan putusan MK itu akan menjadi hari besar bagi para koruptor. Selain itu MK juga memutuskan pengelolaan sumber daya air boleh diprivatisasi dan batas umur Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang boleh dikirim ke luar negeri minimal lulusan Sekolah Dasar, dari sebelumnya yang hanya boleh lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006