Surabaya (ANTARA News) - Wakil Ketua Umum PBNU KH As`ad Said Ali menegaskan bahwa pihaknya sedang menyusun atau merumuskan "Resolusi Jihad NU II" untuk mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi yang membawahi lembaga tinggi, seperti presiden dan DPR.

"Kita belum tahu apa namanya, apakah fatwa, resolusi jihad II, III, atau apa, yang jelas para kiai sudah resah dengan situasi yang menyimpang dari Pancasila akhir-akhir ini," katanya dalam sarasehan `Revitalisasi Resolusi Jihad NU` di Surabaya, Selasa.

Ia mengemukakan hal itu dalam sarasehan yang dibuka Gubernur Jatim Soekarwo dan dihadiri Mayjen TNI (Purn) Saiful Sulun (mantan Pangdam V/Brawijaya), KH Solahuddin Wahid (Tebuireng, Jombang), KH Miftachul Akhyar (Rais Syuriah PWNU), dan KH Sholeh Qosim (Sidoarjo).

"Keresahan para kiai sudah diungkapkan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfud dalam Munas Alim Ulama NU di Buntet, Cirebon pada beberapa waktu lalu, bahkan Presiden langsung merespons keresahan para kiai itu saat menutup Munas itu," katanya.

Intinya, para kiai meresahkan dinamika politik yang berkembang jauh dari kesepakatan pendirian negara ini akibat masuknya liberalisme dan fundamentalisme yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara secara sistematik.

"Para kiai langsung meminta MPR dikembalikan kepada fungsinya sebagai lembaga negara tertinggi yang membawa lembaga tinggi negara lainnya, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sehingga bila ada masalah antarlembaga maka ada penegah yakni MPR," katanya.

Selain itu, para kiai juga meminta amandemen UUD 1945 ditinjau kembali, karena hanya sedikit amandemen yang bermanfaat, seperti terkait HAM, sedangkan lainnya justru mudharat (tidak bermanfaat). "Jadi, amandemen itu jangan menabrak Pembukaan UUD 1945," katanya.

Para kiai juga meminta 10 UU terkait ekonomi ditinjau ulang. "Ekonomi harus mengedepankan etika dan ekonomi khas Indonesia adalah gotong royong, antara ekonomi atas dan ekonomi bawah saling bekerja sama dan saling membantu," katanya.

Untuk pemilihan langsung mungkin cukup di tingkat provinsi, karena demokrasi itu menyimpang dari Pancasila. "Pancasila itu mengedepankan musyawarah. Itulah demokrasi ala Indonesia, bukan pemilihan langsung," katanya.

Di bidang hukum, para kiai juga tidak sepakat dengan hukum yang formalistik tanpa etika dan keadilan. "Di bidang budaya juga sama, NU tidak sepakat maksiat dilawan dengan kekerasan, tapi maksiat harus dilawan dengan sistem, strategi, dan kebijakan," katanya.

Menurut dia, Presiden memahami semua keresahan para kiai itu dan sepakat dengan pandangan para kiai. "Hanya saja, Presiden meminta waktu untuk menunggu pasca-2014 agar amandemen atau dinamika yang ada tidak terkesan bongkar pasang setiap tahun," katanya.

Dalam kesempatan itu, mantan Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI (Purn) Saiful Sulun mengakui liberalisme sudah menggantikan Pancasila di negeri ini dengan menumpang reformasi, karena itu dirinya mendukung "jihad" para ulama NU untuk mengembalikan "rel" Indonesia.

"Saatnya, para ulama NU mengeluarkan fatwa kembali seperti Resolusi Jihad di masa lalu. Resolusi Jihad NU II itu berisi tiga hal yakni kembali ke Pancasila, kembali ke Demokrasi Indonesia, dan kaji ulang Amandemen UUD 1945," katanya.

Saat membuka sarasehan itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mendukung peristiwa "Resolusi Jihad NU" diperingati secara rutin pada setiap tahun karena erat kaitannya dengan Pertempuran 10 November.

"Saya setuju, karena itu saya mendukung acara ini, bahkan saya mendukung kalau peringatan Resolusi Jihad NU itu diperingati pada setiap tanggal 22 Oktober yang nantinya dirangkai dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November," katanya.(*)

Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2013