Jakarta (ANTARA News) - Perang antar-suku di Timika, Papua, sulit diselesaikan karena adanya pranata balas dendam dalam kebudayaan masyarakat Papua, kata beberapa antropolog. "Adanya pranata balas dendam dalam masyarakat Papua membuat pranata rekonsiliasi dari suku-suku bangsa di Irian (Papua) bersifat temporer atau sementara," ujar J.Emmed, antropolog yang juga ketua program S1 Departemen Antropologi FISIP UI, ketika ditemui di Depok, Rabu. Menurut Emmed, pranata yang merupakan seperangkat peraturan nilai dan norma yang berguna untuk memenuhi kebutuhan tertentu dalam masyarakat bersumber dari kebudayaan mereka dan sulit sekali mengubahnya. "Jadi ketika terjadi sebuah perdamaian, jangan diartikan hal itu akan berlangsung selamanya, karena memang sifatnya temporer," kata dia. Emmed mengatakan, meski semua dendam terbalaskan ataupun "impas", konflik semacam itu kemungkinan masih akan terus terjadi. Misalnya, ada satu anak dari sebuah suku yang diculik, maka keesokan harinya akan ada penculikan balasan dari suku yang bersangkutan, dan begitu seterusnya. Sementara itu, M Irwan Hidayana, antropolog yang juga staf pengajar di Departemen Antropologi FISIP UI, mengatakan negara harus memainkan fungsinya sebagai penengah dari konflik yang terjadi antar-dua kelompok itu. "Saat ini negara harus memainkan fungsinya untuk mengintervensi perang antar-suku itu dengan menggunakan hukum nasional yang ada," kata dia. Tetapi masalahnya, menurut dia, pendekatan secara antropologis dan personal sampai saat ini belum pernah dilakukan oleh negara. Tampaknya negara belum benar-benar memahami bagaiamana kondisi psikologis ataupun kultural dari masyarakat Papua itu sendiri, kata dia. "Pemerintah harus mendengar pendapat dari masing-masing kelompok yang bertikai, karena mereka pasti memiliki persepsi berbeda tentang konflik dan perdamaian yang ingin dicapai," ujar dia. Menurut Hidayana, untuk mendengarkan pendapat dari kelompok yang bertikai itu diperlukan pihak yang netral, seperti pemuka agama, universitas ataupun LSM.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006