Jakarta (ANTARA News) - Ketua Delegasi Republik Indonesia ke Konferensi Perubahan Iklim (Conference of the Parties/COP) 19, Rachmat Witoelar menegaskan Indonesia akan meminta kesepakatan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dibuat secara tertulis.

"Yang diharapkan untuk COP 19 mencari negotiating text, jangan ngomong lagi, tapi ditulis. Sekarang ini kan tidak ada di atas kertas," kata Rachmat Witoelar di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, perjuangan melawan perubahan iklim saat ini tidak jelas karena terimbas politik dunia. "Seharusnya (perubahan iklim) ini dijadikan musuh bersama".

Saat ini, ia mengatakan perlu ada kesepakatan bersama secara global yang mengikat sehingga dirasa perlu ada dokumen yang ditanda tangani di COP 19 yang digelar di Warsawa, Polandia, dari 11-22 November 2013.

Rachmat Witoelar yang juga merupakan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berharap apa yang dihasilkan di COP 19 dari Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tersebut dapat digarap di COP 20 di Lima, Peru, dan disahkan di COP 21 yang digelar di Paris, Prancis.

Cara yang akan dilakukan Delri untuk mendesak negara maju seperti Amerika Serikat (AS) untuk mengikuti kesepakatan menurunkan emisi gas rumah kaca dan menggelontorkan pendanaan bagi rencana aksi negara maju mengurangi emisi gas rumah kaca yakni dengan "mempermalukan" mereka di depan forum konvensi.

"Yang jelas akan banyak tak-tiknya, sama halnya dengan di sini konvensi partai politik," ujar dia.

Sementara itu, Sekretaris Pokja Pendanaan DNPI Suzanty Sitorus mengatakan terkait isu pendanaan delegasi akan menekankan realisasi negara maju segera memberikan pendanaan 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2020 sesuai dengan COP 15 di Copenhagen, Denmark.

Dana 100 miliar dolar AS tersebut untuk membiayai berbagai aksi mitigasi dan adaptasi negara berkembang termasuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+), pengembangan energi terbarukan, pengembangan dan alih teknologi untuk berbagai kebutuhan pembangunan rendah karbon.

"Rencana aksi yang telah dibuat negara berkembang perlu dukungan dana, jika tidak itu tidak jalan karena dana dari negara berkembang sendiri habis. Contohnya anggaran pemerintah saat ini hanya mampu memenuhi 16 persen dari seluruh kebutuhan dana untuk target penurunan GRK sebesar 26 persen hingga 2020," ujar dia.

Selain itu semua berharap negara maju akan melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan dalam Protokol Kyoto yakni aksi negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga mampu menekan kenaikan suhu rata-rata global tidak lebih dari dua derajat celcius pada 2020 dibandingkan dari suhu global sebelum Revolusi Industri.

Namun negara yang sejak awal tidak mau mengikuti Protokol Kyoto adalah Amerika Serikat (AS). Sedangkan Kanada menjadi negara yang sejak akhir 2012 keluar dari kesepakatan tersebut.

Sementara tiga negara yang masih tetap berpegang pada Protokol Kyoto tetapi tidak ingin menggunakan komitmen yakni Rusia, Jepang, dan Selandia Baru.

"Walau pun Selandia Baru selangkah lebih maju karena menyatakan akan menurunkan emisi tetapi berkomitmen tidak di bawah Protokol Kyoto melainkan di bawah konvensi. Ini yang kami mau minta kejelasan juga apa artinya jika di bawah konvensi tetapi tidak di bawah Protokol Kyoto," ujar dia. (*)

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2013