Jakarta (ANTARA News) - Presiden seharusnya dapat menilai kinerja Kabinet Indonesia Bersatu dengan mengacu pada data yang disampaikan dalam pidato kenegaraan mengenai RUU APBN 2007 beserta nota keuangan pada tanggal 16 Agustus. "Kesalahan data menunjukkan belum adanya koordinasi di kalangan tim penyusun yang meliputi Badan Pusat Statistik, Departemen Sosial, Menko Kesra serta beberapa menteri lainnya," kata pengamat ekonomi Ichsanudin Noersy saat dihubungi Senin malam. Menurut Noersy, apabila melihat pidato kenegaraan Presiden terlihat data-data yang disajikan justru bertolak belakang sehingga siapa pun yang menyusunnya harus bertanggungjawab untuk menjelaskan kepada publik. Menteri-menteri yang ditunjuk Presiden berkewajiban menjaga reputasi dan kredibilitas "atasannya" sehingga data yang disampaikan dalam pidato tersebut seharusnya benar-benar akurat serta sudah melalui beberapa proses editing. Dia mencontohkan disebutkan dalam pidato Presiden tersebut berhasil mengurangi angka kemiskinan dari 23,4 persen tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005. Namun disisi lain dalam pidato tersebut juga disebutkan subsidi bantuan langsung tunai (BLT) selama 1 tahun kepada 19,2 juta rumah tangga miskin. Berdasarkan data tersebut berarti terdapat 76,8 juta orang miskin (diasumsikan dalam satu keluarga terdiri dari empat orang). Apabila mengacu kepada data Susenas November 2005 jumlah masyarakat Indonesia sebanyak 221,6 juta jiwa berarti jumlah penduduk miskin berdasarkan data tersebut mencapai 34 persen. Begitu juga jika mengacu kepada pidato selanjutnya yang menyebutkan jumlah siswa sekolah dasar dan menengah yang menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebanyak 47,4 juta. Kemudian juga disebutkan pelayanan kesehatan dasar kepada rakyat miskin dan mendekati miskin sampai dengan tahun 2005 telah mencapai 60 juta. Mengacu kepada data BOS tersebut berarti penduduk miskin di Indonesia mencapai 21 persen, sedangkan mengacu kepada pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin berarti penduduk miskin menjadi 27 persen. Pidato kenegaraan tersebut, sambungnya, menunjukkan adanya ketidakkonsistenan angka-angka. Terkait hal itu sudah menjadi kewajiban dari pembantu Presiden untuk merevisi apabila memang tidak benar serta menjelaskan kesalahan tersebut. Menurutnya, angka kemiskinan seharusnya mengacu kepada 14 kriteria yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diantaranya meliputi pendapatan yang hanya dapat digunakan untuk konsumsi saja bahkan kurang, rumah dengan luas hanya 18 meter persegi dengan lantai tanah serta dinding anyaman bambu (gedek), serta konsumsi minyak tanah hanya 2 liter saja. "Pendapatan masyarakat miskin disebut juga untuk di perdesaan Rp105.000 per bulan, sedangkan di perkotaan Rp148.000 sebelum kenaikan Oktober 2005," ucapnya. Berdasarkan data tersebut terdapat tiga kategori kemiskinan yakni sangat miskin, miskin, serta mendekati miskin. Namun untuk mengacu kepada data Presiden maka sebaiknya ketiganya dihimpun untuk disampaikan karena terkait dengan rujukan untuk pembiayaan dalam RAPBN 2007.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006