Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana Wirakusumah yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan kotak suara Pemilu 2004, menyangkal telah merekayasa pengadaan kotak suara dengan menentukan perusahaan pemenang tender. Dalam eksepsinya di persidangan yang berlangsung di Pengadilan Khusus Tipikor Jakarta, Rabu, Mulyana menyatakan kondisi organisasi di KPU saat itu tidak memungkinkan untuk adanya rekayasa ataupun persekongkolan. "Sebagai ketua panitia pengadaan kotak suara, tidak ada kewenangan ekstra untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang, sehingga tidak mungkin ada rekayasa," kata Mulyana saat membacakan eksepsi. Pada bagian lain, tanggapannya Mulyana juga mengatakan dakwaan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap. "Jaksa Penuntut Umum (JPU) sama sekali tidak memaparkan pasal mana dari Keppres nomor 18/2000 tentang pengadaan barang dan jasa yang dilanggar," ujarnya. Mulyana, yang kini masih ditahan di Rutan Cipinang atas kasus penyuapan terhadap auditor BPK, dan divonis dua tahun tujuh bulan, juga menjelaskan bahwa JPU dalam menyusun surat dakwaan tidak mempertimbangkan kondisi sosial politik pada saat penyelenggaraan Pemilu 2004. "Waktu yang mendesak dengan jumlah daerah yang sedemikian banyak membuat Pemilu 2004 merupakan Pemilu yang rumit dan kompleks. Itu tidak menjadi bahan pemikiran JPU. Dengan kondisi yang ada mustahil anggota KPU `bermain` karena risiko politiknya sangat bersar," ujar lulusan kriminologi UI tersebut. Di akhir eksepsinya, Mulyana meminta majelis hakim yang diketuai oleh Moerdiono agar menerima eksepsinya dan menolak surat dakwaan dari JPU. "Seharusnya, memasuki bulan-bulan ini, saya sudah ada dalam proses asimilasi dan mungkin Oktober pembebasan bersyarat, tetapi karena saya didakwa dalam kasus ini, itu semua tidak dapat terjadi. Saya dan keluarga merasa disiksa secara sosial," keluhnya.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006