Washington (ANTARA News) - Amerika Serikat, Senin, menyuarakan penyesalan atas kematian sejumlah orang dalam bentrokan yang menggoyang Thailand dan mendesak oposisi dan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra yang terkepung untuk mengadakan pembicaraan guna mengakhiri krisis politik .

"Kami sangat prihatin dengan ketegangan politik berlanjut di Thailand dan kami mencermati perkembangan situasi secara teliti," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Jen Psaki, sebagaimana dilaporkan AFP.

"Aksi protes damai dan kebebasan berekspresi merupakan aspek penting dari demokrasi ... Kekerasan dan penyitaan harta benda publik atau swasta, bagaimana pun, tidak berarti dapat diterima untuk menyelesaikan perbedaan politik."

Dubes Amerika Serikat Kristie Kenney telah berbicara dengan Shinawatra dan dengan para pemimpin oposisi untuk "mendorong upaya menahan diri dan dialog damai," kata Psaki kepada wartawan.

"Kami tentu sangat menyesalkan hilangnya nyawa di Bangkok karena kekerasan bermotif politik. Kami mengutuk kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan politik dan mendesak semua pihak untuk menahan diri dan menghormati aturan hukum," tambahnya .

Shinawatra, Senin, menolak tuntutan demonstran yang mendesak dia untuk mundur, sementara itu polisi mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk "pemberontakan" terhadap pemimpin protes .

Polisi menggunakan peluru karet, gas air mata dan meriam air guna melawan para demonstran yang melemparkan batu - saat mereka memperkuat pertahanan mereka di gedung-gedung pemerintah utama, setelah akhir pekan kerusuhan di ibukota yang menyebabkan beberapa orang tewas dan lebih dari 100 orang terluka .

Aksi protes itu, yang bertujuan untuk mengganti pemerintah terpilih dan menggantinya dengan "dewan rakyat", adalah peristiwa terbaru dari perselisihan sipil yang menggoncang kerajaan itu sejak para jenderal bangsawan menggulingkan Thaksin Shinawatra, kakak Yingluck, tujuh tahun yang lalu.

Thaksin Shinawatra, yang memenangkan suara pemilih miskin di pedesaan dan perkotaan dengan kebijakan populisnya, dijatuhi hukuman in absentia atas kasus korupsi pada tahun 2008 .

Dia disebutkan menolak tuduhan yang diklaimnya dimotivasi politik itu dan tinggal di pengasingan.

(G003)


Editor: Heppy Ratna Sari
COPYRIGHT © ANTARA 2013