Bandung (ANTARA News) - Sembilan propinsi meminta dilakukannya Operasi Pasar (OP) beras menyusul kecenderungan kenaikan harga beras secara signifikan di berbagai daerah belakangan ini, yang dikhawatirkan semakin memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan dan pedesaan. Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Krisnamurthi, di Bandung, Senin, mengatakan kesembilan propinsi itu juga meminta pemerintah pusat ikut membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi daerah-daerah yang mengalami surplus, namun harga berasnya tetap tinggi. Sembilan provinsi itu adalah Jawa Barat (Jabar), Sumatera Selatan (Sumsel), Jawa Tengah (Jateng), Kalimantan Timur (Kaltim), Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Utara (Sumut), Riau, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Gorontalo. Sementara itu, mereka yang surplus tapi harga berasnya tetap tinggi adalah Jabar, Sumsel, Jateng, Sumbar dan Sumut. Riau mengaku mengalami kekurangan beras dan NAD mengaku kurang mampu memenuhi kebutuhan beras daerahnya. Rapat Koordinasi Nasional Evaluasi II Inpres tentang perberasan yang akan berlangsung hingga Selasa (29/8) telah menyepakati akan menyempurnakan mekanisme OP beras, sehingga pelaksanaan di lapangan dapat lebih cepat. Namun demikian Bayu mengatakan, sepanjang belum ada aturan baru terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) Menko Perekonomian dan Menko Kesra dan SK Menteri Perdagangan (Mendag) itu, pelaksanaan OP beras masih harus berpatokan pada SKB yang ada. Selama ini OP beras berdasarkan SK Mendag berpatokan pada kisaran 25 persen di atas rata-rata harga beras dalam tiga bulan terakhir. Kemudian, Surat Edaran Mendag menyatakan OP beras dapat dilakukan jika harga rata-rata beras dalam tiga bulan terakhir telah mencapai 15 persen. Namun kenyataannya, kenaikan harga selalu bertahap dan tidak pernah mencapai kenaikan rata-rata 15 persen seperti yang ditetapkan. "Kenaikan bertahap dan tidak pernah terjadi shock," kata Bayu. Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo mengatakan OP beras cukup diserahkan pada kebijakan daerah masing-masing karena daerah lebih mengetahui kondisi riil dan standar harga beras yang ada di daerah. "Selain itu kita juga mengusulkan harga OP beras juga menggunakan patokan harga regional," katanya. Menurut dia, tidak mungkin dilakukan standarisasi harga secara nasional dan harus berlaku secara umum karena hal itu menyangkut kemampuan perekonomian daerah.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006