Cibinong (ANTARA News) - Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gedung Widyasatwaloka Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor, Selasa, mengumumkan keragaman biota di kawasan karst hasil temuan para peneliti di dua ekspedisi, yakni ekspedisi di Maros (Sulawesi Selatan) dan Pegunungan Sewu (Jawa). Temuan tersebut, menurut Kepala Pusat Penelitian (Kapuslit) Biologi LIPI, Dr Dedy Darnaedi, bertujuan mengungkapkan keragaman fauna karst dan gua di Indonesia, sehingga para peneliti melakukan ekpose bertema "Penelitian Karakterisasi dan Inventarisasi Biota Karst Maros dan Pegunungan Sewu". Ia mengungkapkan bahwa Indonesia mempunyai kawasan karst yang luas, terbentang dari barat sampai ke timur, yaitu dari Sumatera (Bukit Barisan), Kalimantan (Sangkulirang dan Muller), Jawa Barat-Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara sampai Propinsi Papua. Di antara kawasan karst tersebut, kata dia, yang paling terkenal di dunia adalah Maros, Pegunungan Sewu dan Lorenzt (Papua). Kawasan karst, menurut Dedy Darnaedi, mempunyai nilai amat penting, yakni di samping nilai ekonomi, juga nilai strategi lingkungan. "Secara ekonomi, karst merupakan bahan tambang yang cukup berharga seperti kapur, marmer dan semen, sedangkan dari aspek ekologi, karst tidak boleh diabaikan karena kawasan ini pada umumnya mengandung sungai bawah tanah atau disebut reservoir raksasa, seperti di Gombong Selatan," katanya. Merujuk pada data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia mengemukakan bahwa sekitar 25 persen penduduk dunia hidupnya bergantung pada sumber air karst, dan di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan beberapa tempat lain di Indonesia menjadikannya sebagai kebutuhan utama. Sementara itu, peneliti karst LIPI, Dr Yayuk R. Suhardjono, mengungkapkan bahwa penelitian keanekaragaman hayati gua-gua di Indonesia masih jarang dilakukan, sehingga informasi biotanya pun masih sangat terbatas. "Padahal, biota karst dan gua berperan penting di dalam ekosistem, bahkan beberapa diantaranya dapat dijadikan indikator hayati," katanya. Ia memberi contoh, seperti kelelawar di suatu gua yang pernah dipadati koloninya, mengindikasikan adanya gangguan terhadap gua sehingga mereka berpindah atau terusir. "Ditemukannya semut di dalam gua menunjukkan adanya gangguan terhadap ekosistem gua, karena semut bukanlah binatang gua," katanya. "Kondisi itu merupakan bukti kekhasan habitat karst menyebabkan biota karst rentan terhadap perubahan lingkungan," demikian Yayuk. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006