Jakarta (ANTARA) - Pekerja kretek tangan meminta pemerintah untuk memperhatikan keberlanjutan industri hasil tembakau (IHT), khususnya segmen sigaret kretek tangan (SKT).

Untuk itu, mereka meminta pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai SKT di 2025 yang berpotensi menciptakan gangguan keberlangsungan terhadap nasib jutaan pekerja di sektor tersebut.

"Kenaikan cukai tahun 2022 yang dilanjutkan dengan kebijakan kenaikan cukai tahun 2023-2024 masih dirasakan dampaknya sampai sekarang," kata Ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman (FSP RTMM-SPSI) Jawa Tengah Edy Riyanto melalui keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Edy mengatakan segmen SKT memiliki serapan tenaga kerja yang cukup besar sehingga banyak orang yang menggantungkan sawah ladangnya di segmen tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu untuk memberikan dukungan yang lebih signifikan agar industri SKT mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi dan memberikan dampak positif terhadap pendapatan negara.

Ia melanjutkan bahwa pengurangan cukai bagi SKT dapat memberikan kelegaan bagi pelaku industri agar dapat lebih mengembangkan dan berinvestasi di sektor ini.

"Keputusan pemerintah (untuk kebijakan tarif cukai SKT) harus dibuat berdasarkan pertimbangan yang matang terhadap semua dampak yang dapat terjadi, baik itu untuk industri atau pekerjanya. Jangan hanya satu variabel saja. Jadi, kalau bisa naik 0 persen saja," ujar Edy.

Diketahui, SKT selama ini merupakan segmen industri padat karya yang dihuni oleh para pekerja pelinting yang notabene memiliki tingkat pendidikan rendah. Masyarakat dengan tingkat pendidikan dan keterampilan rendah ialah kelompok yang paling rentan menjadi pengangguran jika terjadi gangguan pada industri tempat mereka bekerja.

Menurut Edy, kenaikan cukai akan turut meningkatkan biaya produksi dan harga jual SKT ke konsumen. Akibatnya, permintaan konsumen turun. Padahal, kata dia, konsumen dari kalangan menengah ke bawah pasti sangat terpengaruh harga.

Baca juga: Menperin: pekerja linting sigaret kretek tangan "pahlawan industri"

"Kalau permintaan turun, pendapatan pabrik juga turun, padahal bebannya naik. Lama-lama pabrik bisa gulung tikar, lapangan kerja terancam. Kalau seperti itu pekerja ini mau bagaimana?" ujar dia.

Ia juga menilai kenaikan cukai yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir terbukti tidak efektif untuk meningkatkan penerimaan negara dan menekan jumlah rokok ilegal. Dalam berbagai kesempatan, menurut dia,Kementerian Keuangan juga merilis penerimaan cukai yang tidak mencapai target dan jumlah rokok ilegal yang tidak berkurang.

Lebih lanjut, kata Edy, kenaikan harga jual SKT justru akan membuat rokok ilegal semakin marak karena masyarakat akan mencari alternatif produk lain yang lebih murah.

"Jadi, kerugiannya dobel. Pertama, rugi karena pabrik lama-lama gulung tikar, pekerja di PHK. Kemudian, pendapatan negara juga turun karena konsumen belinya yang ilegal," tuturnya.

Sementara dalam kesempatan terpisah, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Merrijantij Punguan Pintaria mengatakan salah satu tugas Kemenperin ialah menjaga iklim usaha industri, termasuk IHT.

Kemenperin berusaha menjaga ekosistem untuk keberlanjutan dari IHT melalui penyusunan berbagai kebijakan.

Di antara keberpihakan pemerintah, yakni dengan menetapkan tarif SKT yang lebih rendah dibandingkan rokok mesin mengingat segmen tersebut termasuk padat karya.

"Idealnya tarif cukai bagi SKT adalah serendah-rendahnya," kata Merrijantij.

Baca juga: Buruh rokok harap pemerintah tak naikkan cukai rokok SKT pada 2025
 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Evi Ratnawati
COPYRIGHT © ANTARA 2024