Jakarta (ANTARA) - Guna mendeteksi dini penyakit lupus yang gejalanya banyak menyerupai penyakit lain, sehingga dijuluki penyakit "si seribu wajah", bukan atau tidak cukup dengan diagnosis mandiri atau "self diagnosis".

Diagnosis mandiri kerap membuat orang salah mengira gejala penyakit kronis itu sebagai radang sendi autoimun atau rheumatoid arthritis, karena kemiripan gejala.

Padahal lupus atau biasa dikenal Systemic Lupus Erythematosus merupakan penyakit reumatik autoimun yang dapat menyerang berbagai macam organ dan memiliki berbagai macam gejala.  Sehingga jika dibiarkan, bukan tidak mungkin berdampak kerusakan yang lebih parah, bahkan menyebabkan kematian.

Ketika mengidap lupus fase awal, seseorang dapat terlihat seperti baik-baik saja, karena gejala yang dirasakan amat minim.

Namun dengan mengecek lebih dalam, seseorang dapat mengonfirmasi ada atau tidaknya penyakit tersebut di dalam tubuh pasien. Sehingga risiko untuk mengalami sakit yang lebih parah dapat dicegah sedini mungkin.

Kueri terkait lupus sendiri, menurut trafik Google Trends Indonesia pada Senin, dipakai 80 persen peselancar dunia maya, kalah banyak dari rheumatoid arthritis (RA) yang mencapai 120 persen. Kueri adalah sekumpulan instruksi khusus untuk mengekstraksi data dari pangkalan data.

Mungkin lupus bisa dikira RA, jika instruksi yang dipakai untuk mencarinya salah. Nyeri sendi adalah salah satu gejala lupus. Gejala nyeri sendi akan terasa paling berat dirasakan pasien lupus ketika mereka baru bangun tidur.

Namun nyeri sendi bukan satu-satunya manifestasi atau gejala lupus. Gejala yang paling kentara adalah gejala kulit , misalnya ruam atau memar dengan corak khas kupu-kupu di pipi atau batang hidung.

Selain itu, ada juga gejala ginjal, misalnya tekanan darah tinggi, kaki membengkak dan buang air kecilnya keruh atau berbusa), kurang darah misalnya hemoglobin rendah/anemia atau trombosit rendah/ trombositopenia.

Kemudian gejala syaraf, misalnya pusing, sakit kepala, atau kejang, hipersensitif terhadap cahaya matahari hingga penumpukan cairan misalnya pada rongga selaput paru-paru atau di perut.

Potensi terserang lupus tetap ada pada perempuan yang mengalami gejala-gejala tersebut dan memiliki riwayat genetik atau keturunan dari anggota keluarga yang pernah mengidap lupus.

Sehingga dokter menganjurkan anak perempuan untuk lebih mewaspadai lupus sejak dini dengan memeriksakan kesehatannya secara berkala ke dokter.

"Tentu kalau ada keluhan, berobat ke dokter umum dulu begitu ya. Nanti mereka yang akan menentukan itu (pengobatannya) ke arah penyakit tertentu atau tidak, atau pasien dirujuk ke faskes berikutnya," kata dokter spesialis penyakit dalam-konsultan reumatologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr RM Suryo Anggoro KW, SpPD-KR.

Meski dokter akan sebisa mungkin melakukan serangkaian pemeriksaan tambahan untuk mengonfirmasi penyakitnya, dengan mengenali gejala-gejala dan faktor risiko tentu akan sangat membantu pasien mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat apabila terdiagnosis lupus.


Penanganan lupus

Terapi pengobatan lupus dilakukan untuk mengendalikan peradangan, meringankan gejala, dan mencegah kerusakan organ.

Obat yang digunakan dalam pengobatan lupus adalah obat-obatan yang menekan sistem imun supaya sistem imun tidak menyerang sel-sel sehat, jaringan, atau organ tubuhnya sendiri.

Konsumsi suplemen yang memiliki klaim meningkatkan kekebalan tubuh sebaiknya dihindari.

Dengan obat-obatan yang menekan sistem imun, efek sampingnya menyebabkan tubuh lebih mudah terinfeksi penyakit.

Karena itu, terapi pengobatan lupus biasanya dilakukan berdasarkan pengamatan dokter terhadap kondisi pasien, untuk mendeteksi apakah aktivitas lupus sudah mencapai remisi.

Remisi atau satu titik di mana kondisi gejala penyakit lupus terlihat minimal, belum tentu sama dengan berhenti berobat. Para dokter biasanya memiliki target sebisa mungkin pada bulan keenam pengobatan, remisi lupus dapat tercapai, terutama pada penyintas lupus yang mengalami gejala ginjal.

Tapi pengobatan perlu dipertahankan sampai jangka waktu tertentu di mana remisi memungkinkan terjadi terus-menerus. Ketika remisi terus-menerus tercapai, baru dosis obat-obatan bisa diturunkan atau mungkin suatu saat bisa dihentikan.

Dokter dapat meminta pasien menjalani tes anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA) untuk mengetahui apakah penyakit sudah mencapai remisi pada individu yang telah didiagnosis mengalami lupus.
 
"Untuk memantau aktivitas penyakit, selain dari keluhan, selain dari pemeriksaan laboratorium sederhana, anti-dsDNA inilah yang digunakan. Dan kalau penyakitnya terkendali, bisa terlihat normal hasilnya," kata Suryo.

Tes antinuclear antibodies atau tes ANA, untuk mengetahui adanya masalah pada sistem imun tubuh, tidak perlu diulang lagi ketika diagnosis sudah tegak bahwa seseorang memang terserang lupus.

Diagnosis pada lupus dapat ditegakkan berdasarkan tiga temuan. Pertama, temuan berdasarkan pemeriksaan fisik yang spesifik. Kedua, temuan berdasarkan pemeriksaan laboratorium sederhana seperti pemeriksaan untuk mengecek kadar hemoglobin dan trombosit dalam darah.

Ketiga, temuan berdasarkan pemeriksaan laboratorium spesifik seperti tes anti-dsDNA dan tes komplemen 3 dan 4 (C3 dan C4). "Dengan sistem scoring atau penilaian terhadap tiga temuan tersebut, kita juga bisa menentukan apakah lupusnya sudah mencapai remisi atau belum," kata Suryo.

Selain pengobatan, gaya hidup sehat juga bisa membantu mengurangi timbulnya gejala lupus pada individu yang berisiko mengalami penyakit tersebut.

Gaya hidup sehat dapat dilaksanakan dengan mengatur waktu istirahat agar tidak sampai kurang dari tujuh jam sehari, kemudian berhenti merokok, dan mengelola stres, lalu diet khusus ginjal dengan mengurangi konsumsi protein atau garam yang berlebihan, atau berolah raga ringan seperti berjalan kaki 6.000 langkah sehari.

Selain dapat membantu mengurangi risiko terjadinya lupus, penerapan gaya hidup sehat juga dapat membantu mempertahankan kesehatan tubuh.

Berikutnya,  menghindari faktor yang dapat memicu gejala lupus seperti sinar matahari berlebihan, infeksi, dan obat-obatan tertentu juga dapat membantu mengurangi risiko serangan lupus.

Jadi, tidak ada tes tunggal yang dapat mengetahui apakah seseorang menderita lupus. Para dokter biasanya dapat mengetahui  seseorang menderita lupus dengan berbagai cara,  seperti tes penghitungan sel darah lengkap (complete blood count), analisis urine, pemeriksaan ANA (antinuclear antibody), pemeriksaan imunologi, tes komplemen, serta pemindaian jantung (ekokardiogram)  dan paru-paru (foto rontgen).
 

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Slamet Hadi Purnomo
COPYRIGHT © ANTARA 2024