Jakarta (ANTARA) - Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Tirta Sutedjo mengungkapkan hasil evaluasi integrasi program Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) tahun 2023.

Sejumlah lokasi yang menjadi tempat kegiatan evaluasi yaitu di Garut, Jawa Barat, lalu Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT), Palembang di Sumatera Selatan, Kediri di Jawa Timur, dan Minahasa di Sulawesi Utara.

“Beberapa hasil yang kami dapatkan antara lain bahwa 3 dari 5 daerah sampel yang dikunjungi ini sedang melakukan veri-vali (verifikasi dan validasi) P3KE, namun baru satu yang menetapkan sasarannya di tahun 2023. Jadi, secara dampak ini masih belum kelihatan bagaimana dampak dari implementasi program-program penurunan kemiskinan ekstrem ini,” ungkapnya dalam agenda Knowledge Forum dengan tema "Strategi Penanggulangan Kemiskinan: Tantangan Saat Ini dan Peluang di Masa Depan” yang dipantau secara virtual di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan hasil diskusi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (pemda), persoalan data yang belum akurat membuat intervensi pemerintah untuk melaksanakan pelbagai program penurunan kemiskinan ekstrem kurang tepat sasaran. Hal ini diduga menjadi penyebab mengapa dampak dari implementasi pelbagai program P3KE belum terlihat.

Menurut dia, adanya banyak sumber data seharusnya bisa dioptimalkan untuk menjadi referensi penetapan sasaran bagi program penghapusan kemiskinan ekstrem.

Namun, lanjutnya, ternyata ditemukan responden tak masuk di dalam sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi rujukan pemberian bantuan sosial dan pemberdayaan, tapi masuk di sistem data lain. Ada pula responden yang tidak masuk ke semua sistem data, padahal kondisi dari responden tersebut sangat memprihatinkan jika dilihat di lapangan.

“Kemudian, masih terbatasnya kerjasama dengan non-pemerintah. Dari lokasi studi ini, hanya Minahasa Selatan yang melibatkan organisasi non-pemerintah, dalam hal ini gereja. Jadi, ini masih perlu kita lakukan sinergi dan kolaborasi maupun kerjasama dengan pihak-pihak non-pemerintah,” ujar Tirta.

Pemerintah pernah melakukan kerja sama dengan United States Agency for International Development (USAID) dalam bentuk program Kelola Pemerintahan Yang Efektif, Efisien Dan Kuat (ERAT). Sayangnya, ucap dia, tindak lanjut studi ini belum dapat diperdalam lagi.

Bappenas juga menemukan bahwa ada perbedaan definisi dan keterbatasan pemahaman terkait dengan data dan program-program intervensi kemiskinan ekstrem di antara pemda dan pemerintah pusat.

“Untuk pemerintah daerah, karena kemiskinan ekstrem ini sudah memiliki pedum (pedoman umum), ternyata yang sudah membaca dan memahami pedum ini masih terbatas dan lebih rendah dibandingkan dengan di K/L (Kementerian/Lembaga),” kata dia.

Karena itu, diperlukan sosialisasi, penyelarasan, dan peningkatan pemahaman untuk para pemangku kepentingan di kedua tingkatan instansi tersebut.

Salah satu upaya yang dilakukan ialah mendorong implementasi kebijakan Satu Data Indonesia (SDI).

Upaya mewujudkan SDI antara lain dilakukan dengan melaksanakan Registrasi Sosial-Ekonomi (Regsosek) yang diharapkan bisa terintegrasi dengan seluruh sistem yang ada. Dengan begitu, pemutakhiran data lebih efisien dan seluruh instansi dapat menggunakan data yang sama.

“Regsosek juga sudah diperkuat dengan aplikasi SEPAKAT (Sistem Perencanaan, Penganggaran, Analisis, Monitoring & Evaluasi Kemiskinan Terpadu) sebagai tools untuk pengelolaan dan pemanfaatan data Regsosek untuk dapat dianalisa dan dapat digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan,” ucap Tirta Sutedjo.

Baca juga: Bappenas paparkan sejumlah PR untuk turunkan tingkat kemiskinan
Baca juga: Setwapres: Kolaborasi pentahelix maksimalkan penanggulangan kemiskinan
Baca juga: Bappenas: Kerangka besar RPJMN 2025-2029 hapuskan kemiskinan ekstrem


Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Faisal Yunianto
COPYRIGHT © ANTARA 2024