Jakarta (ANTARA) - Guna melindungi hak anggota koperasi perihal simpanan mereka, saat ini ada gagasan --bahkan telah masuk usulan menjadi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian terbaru -- perihal pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi (LPSK).

Argumentasi yang dibangun atas perlunya LPSK, antara lain, upaya meminimalisasi munculnya kerugian yang timbul akibat praktik koperasi simpan pinjam/koperasi simpan pinjam syariah (KSP/KSPPS) yang menyimpang dari filosofi koperasi.

Penulis sebagai pelaku koperasi dengan tegas mengatakan saat ini memang tugas Pemerintah yang harus dengan tegas menegakkan pelaksanaan filosofi koperasi menjadi prinsip, nilai, dan jati diri koperasi yang terimplementasi pada tata laksana manajemen koperasi yang menjunjung tinggi pelaksanaan tata kelola koperasi yang baik atau good cooperative  governance (GCG).

Menjaga kemurnian filosofi koperasi memang tidak bisa ditarik dari garis akhir atau garis tengah. Koperasi yang benar mau tidak mau harus disandarkan pada cita-cita yang benar, yang merujuk pada filosofi yang dibangun oleh Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta.

Koperasi dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, yang memiliki trilogi fungsi. Pertama, anggota sebagai pemilik. Kedua, anggota sebagai pengguna. Ketiga, anggota sebagai pengendali.

Pemahaman tentang trilogi fungsi koperasi menjadi pokok pikiran penting yang akan membawa pada kemaslahatan anggota. Jika anggota tidak merasa dirinya bagian dari trilogi fungsi koperasi maka tidak ada harapan koperasi mampu meningkatkan kemaslahatan untuk anggota.

Manfaat ini dapat diartikan sebagai upaya memelihara tujuan dan menghindarkan diri dari bahaya atau kerusakan.

Pemerintah sebagai inisiator RUU Perkoperasian menganggap penting adanya Lembaga Penjaminan Simpanan Koperasi (LPSK) sebagai sarana penguatan ekosistem koperasi.

Pada saat pandemi COVID-19 banyak bank bermasalah yang selamat karena adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hal ini juga merupakan argumentasi Pemerintah untuk membentuk LPSK bagi koperasi.

Pembentukan LPSK pun merupakan alat antisipasi terhadap perubahan zaman yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan koperasi melalui Undang-Undang Perkoperasian yang semakin baik.

Masih pada argumentasi perlunya LPSK, yang akan meminimalisasi upaya anggota yang bisa memailitkan koperasi seperti yang terjadi pada beberapa koperasi palsu yang akhirnya bermasalah pada beberapa tahun terakhir ini.

Kasus koperasi palsu yang akhirnya bermasalah yang terjadi 2020-2023 patut menjadi perhatian bersama. KSP Sejahtera Bersama, KSP Indosurya, KSP Pracico Inti Utama, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSP Intidana, Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa, KSP Garuda, dan KSP Timur Pratama Indonesia.

Jika diperhatikan, badan usaha yang penulis sebut di atas memang pantas untuk disebut koperasi palsu. Memang usaha lembaga di atas berbadan hukum koperasi, tetapi apakah trilogi fungsi anggota berjalan pada koperasi ini?

Apakah anggota memiliki fungsi sebagai pemilik, pengguna, dan pengendali? Dari pemberitaan, sepertinya sebagian dari masyarakat yang menjadi korban bukanlah anggota yang memang paham dengan trilogi fungsi koperasi.

Masyarakat yang menjadi korban adalah mereka yang tertarik oleh iming-iming mendapatkan bunga lebih tinggi atas hasil simpanan yang mereka tempatkan di koperasi palsu ini dibanding jika mereka menempatkan uang di industri perbankan.


Pilar dasar berkoperasi

Belajar dari tegaknya Credit Union (CU) atau Koperasi Kredit (Kopdit) di Indonesia, kita sampai pada satu simpulan bahwa jika koperasi dibangun dengan pilar dasar yang benar maka koperasi akan semakin kuat dan menguatkan anggotanya. Cara berpikir koperasi memang berbeda dengan perbankan.

Pada koperasi, nasabah yang memanfaatkan jasa pinjaman atau pembiayaan mereka adalah anggota koperasi atau pemilik koperasi.

Kita perlu angkat kembali tiga pilar penting mengapa orang menjadi anggota koperasi dan sepakat membangun perusahaan bersama.

Pertama, orang membangun dan mengembangkan koperasi dengan prinsip swadaya. Artinya, koperasi simpan pinjam dibangun dengan langkah pertama menyimpan dan kemudian barulah meminjam.

Simpanan anggota inilah yang menjadi modal koperasi. Dengan mengambil praktik terbaik pada koperasi yang benar, modal dari anggota berupa simpanan harusnya tidak mengelompok pada satu, dua, atau beberapa orang saja.

Simpanan anggota menyebar relatif merata pada semua anggota. Coba kita lihat pada koperasi palsu yang disebut di atas, kejadiannya para korban koperasi palsu ini memiliki simpanan yang besar pada koperasi yang akhirnya bermasalah ini.

Kedua, pilar kesetiakawanan atau solidaritas. Koperasi hanya memberikan pinjaman kepada anggota. Jika kita perhatikan apakah koperasi palsu yang bermasalah ini memberikan pinjaman pada anggota saja, ternyata memang prinsip koperasi simpan pinjam tidak dilakukan dengan benar.

Koperasi bermasalah itu menginvestasikan dana pada usaha non-simpan pinjam, bahkan untuk membiayai investasi di grup usahanya sendiri, bukan kepada anggota.

Pilar ketiga, pendidikan atau penyadaran. Pada konsep ini hanya mereka yang berwatak baiklah yang diberikan pinjaman. Berwatak baik ini adalah ujung dari pendidikan.

Pendidikan perkoperasian menjadi sangat penting dalam membentuk perilaku anggota sebagai pemilik, pengguna, dan pengendali agar mampu berperilaku seimbang dalam menempatkan diri.

Kita membayangkan koperasi Indonesia akan diimplementasikan lebih kuat dari sisi filosofi, pelaksanaan jati diri, prinsip dan nilai, serta tata kelola yang menjunjung tinggi asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan adil.

Jika koperasi mampu menjalankan ini semua, sebetulnya ekosistem koperasi akan terbangun dengan modelnya sendiri, bukan meniru model ekosistem perbankan.

Saat ini praktik koperasi simpan pinjam di Indonesia memang tidaklah sama antarkoperasi. Ada KSP yang dari awal memang dibentuk oleh beberapa orang yang kemudian berlangsung lama lalu berkembang, namun tetap menempatkan sekelompok pendiri sebagai pemilik, sementara orang lain sebagai pengguna jasa pinjaman.

Pada praktik seperti ini, disparitas jumlah simpanan antar anggota akan terjadi celah yang cukup besar. Apalagi jika manajemen menawarkan imbal balik simpanan yang cukup besar maka akan ada orang berduit banyak yang rela memindahkan simpanan dari bank ke koperasi.

Praktik koperasi seperti inilah yang sangat rentan untuk bermasalah karena trilogi fungsi koperasi dan pilar dasar koperasi dilanggar dalam praktik manajemen koperasinya.

Ada juga praktik pengalihan bentuk yang terjadi pada lembaga keuangan mikro (LKM) baitul  maal wat tamwil (BMT) yang saat itu merupakan lembaga keuangan non-bank dan non-koperasi yang karena regulasi harus bertransformasi menjadi koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah (KSPPS).

BMT yang saat pendiriannya merupakan inisiasi pribadi atau kelompok, tentu tidak mudah menjadi koperasi yang benar-benar menjaga kemurnian trilogi fungsi koperasi dan pilar dasar koperasi.

Jika ditanya apakah perlu LPSK bagi koperasi Indonesia? Bagi koperasi-koperasi yang sedari awal menjalankan prinsip koperasi yang benar mampu menjaga dan menjalankan manajemen pada tata kelola koperasi yang baik (GCG), koperasi model ini tidak perlu ada LPSK.

Akan tetapi, bagi koperasi yang masih menempatkan anggota di luar koperasi maka lembaga LPSK masih menjadi penting.


Peran Pemerintah

Pengesahan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) membawa implikasi pada dua penjenisan koperasi, yakni yang closed loop dan open loop.

Merujuk pada dua jenis layanan koperasi tersebut, bisa disimpulkan bahwa koperasi yang benar-benar dari awal menjalankan prinsip dan nilai koperasi adalah koperasi dengan layanan closed loop. Artinya koperasi hanya melayani anggota saja.

Namun, pada koperasi yang melayani non-anggota, mitigasi risiko atas masalah yang terjadi harus diantisipasi lebih baik. Penting bagi Pemerintah untuk menegaskan bahwa jika memang LPSK tetap berdiri, koperasi dengan model open loop inilah yang harus ikutan menjadi bagian dari terbentuknya LPSK.

Lebih dari sekadar perlu atau tidaknya LPSK dibentuk, yang paling penting dari peran Pemerintah adalah upaya menciptakan ekosistem yang kuat pada perkoperasian, bukan hanya di sektor simpan pinjam.

Dengan terciptanya ekosistem yang kokoh pada semua sektor koperasi maka perkembangan koperasi di Indonesia akan mampu mewujudkan impian Bung Hatta yang menyebut bahwa koperasi menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan.

Sebutan tulang punggung atau soko guru ekonomi pada koperasi sebenarnya melekat pada bentuk koperasi yang benar, yang menempatkan anggota sebagai pemilik koperasi atau subjek ekonomi, bukan sekadar sebagai objek penerimaan pinjaman.

Untuk mewujudkan ekosistem koperasi yang kuat, Pemerintah melalui regulasi dan anggaran yang dimiliki hendaknya mampu menjaga dan membangun trilogi fungsi koperasi dan tiga pilar dasar koperasi melalui kampanye masif dan terukur pada seluruh elemen masyarakat.

Edukasi kepada masyarakat terhadap koperasi yang benar hendaknya menjadi pintu masuk membangun kesadaran berkoperasi. Praktik-praktik oleh koperasi yang benar hendaknya diimitasi oleh koperasi lain. Karena pendidikan terbaik adalah bukti dari praktik koperasi yang dapat dilihat masyarakat.

Implementasi teknis, misalnya, terkait dengan pembangunan rumah gratis oleh Koperasi BMI di Tangerang yang saat ini telah mampu membangun 474 rumah gratis, berbagai kegiatan sosial keagamaan yang dilakukan oleh BMT UGT Nusantara, insentif pada guru ngaji yang dilakukan oleh Kospin Jasa, dan berbagai praktik baik yang dilakukan oleh Credit Union di Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Praktik baik tersebut bisa menjadi acuan untuk mengampanyekan koperasi kepada masyarakat luas.




*) Penulis adalah Presiden Direktur Koperasi BMI Grup, Penerima Anugerah Lencana Bakti Koperasi (2017), Penerima Anugerah Satya Lencana Wira Karya dari Presiden RI (2018), Penerima Rekor MURI Penggagas Hibah Rumah Siap Huni Melalui Koperasi (2020), Penulis Buku Model BMI Syariah, Buku MTS & MTA, Buku Koperasi Sosiopreneur dan Anggota Pokja RUU Perkoperasian.


Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta: Kamaruddin Batubara, S.E., M.E.*
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024