Semarang (ANTARA) - Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J. Rachbini menilai demokrasi di berbagai kawasan dunia mengalami kemunduran sehingga tetap harus ada sekelompok masyarakat sipil yang kritis yang menyikapi dan menolak terjadinya hal tersebut.

"Setelah Pemilu 2024, belum ada tanda-tanda cerah bahwa demokrasi akan segera bangkit kembali," kata Prof. Didik melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Sabtu malam.

Hal itu disampaikannya usai webinar bertajuk Koalisi Besar Bisa Menuju Demagog Otoriter yang diselenggarakan Universitas Paramadina bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Prof. Didik lantas mencontohkan sejumlah negara, antara lain, Rusia, Amerika Serikat semasa Presiden Donald John Trump, India, Myanmar, dan Filipina dengan kembalinya dinasti Marcos.

"Kemunduran demokrasi boleh terjadi di mana saja. Akan tetapi, jika masyarakat di suatu negara tidak menghendaki itu terjadi, kemunduran demokrasi bisa dicegah," ujarnya.

Ketika masyarakat sipil cukup kritis menyuarakan penolakan terhadap kemunduran demokrasi yang makin akut, menurut Prof. Didik, pemimpin negara akan canggung menjalankan praktik-praktik antidemokrasi, kecuali pemimpin yang lupa ingatan.

Mulai saat ini, lanjut dia, para intelektual harus sudah mulai melakukan langkah-langkah kritis. Adapun tujuannya tetap menegakkan rule of law dan check and balances.

Ia mengemukakan bahwa harus membiasakan mengadu gagasan versus gagasan, bukan melanjutkan praktik-praktik otoritarian dan kesewenang-wenangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Praktik-praktik tidak terpuji itu bisa dicegah apabila check and balances berjalan dengan baik di parlemen," katanya menegaskan.

Dalam diskusi itu, Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES Dr. Wijayanto mengemukakan teori Daron Acemoglu dan James Robinson. Teori ini mengatakan bahwa demokrasi bagai jalur sempit, di tempat ini ada pertarungan dua kekuatan, negara (di dalamnya ada oligarki) dan civil society (masyarakat madani) yang seharusnya berkekuatan seimbang.

Ketika seimbang, kata Wijayanto, negara bisa dipaksa untuk tetap menjalankan mandat konstitusi untuk selalu merawat kebebasan/demokrasi. Namun, ketika civil society terlalu lemah, hasilnya adalah otoritarianisme dan totaliterisme.

"Jelas bahwa Indonesia sangat membutuhkan masyarakat sipil yang kuat saat ini," ungkapnya.

Wijayanto menegaskan bahwa koalisi harus mengandung makna ada yang berdiri di luar kekuasaan untuk selalu menjalankan fungsi kritiknya. Hal ini agar kekuasaan negara tidak berubah wujud menjadi leviathan (raksasa) ganas.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Agus Setiawan
COPYRIGHT © ANTARA 2024