Jakarta (ANTARA) - Iga Swiatek menolak menganggap remeh French Open meski meraih gelar Roma ketiganya ketika mengalahkan Aryna Sabalenka 6-2, 6-3 di final, Sabtu (18/5) waktu setempat.

Petenis nomor satu dunia Swiatek akan menjadi favorit untuk berhasil mempertahankan mahkota Roland Garros setelah menang dengan nyaman di lapangan tanah liat melawan peringkat kedua Sabalenka.

Di hadapan penonton lapangan tengah Swiatek menjadi petenis putri pertama sejak Serena Williams pada 2013 yang menang di lapangan tanah liat di Madrid dan Roma pada musim yang sama.

Dia bisa bergabung dengan Williams dalam hattrick di Paris jika dia memenangi gelar French Open keempatnya, dan ketiga berturut-turut, dengan Grand Slam lapangan tanah liat tersebut dimulai pada 26 Mei.

"Tentu saja saya percaya diri. Saya merasa seperti saya bermain tenis dengan hebat tapi itu tidak mengubah fakta bahwa saya hanya ingin tetap rendah hati," kata Swiatek, seperti disiarkan AFP, Minggu.

Baca juga: Swiatek kalahkan Sabalenka untuk memenangi gelar Roma ketiga
Baca juga: Swiatek hadapi Sabalenka di final Roma untuk samai catatan Serena


"Grand Slam itu berbeda. Ada tekanan yang berbeda di dalam dan di luar lapangan. Tentu saja saya senang datang ke Paris dan berada di sana. Ini tempat yang luar biasa bagi saya dan saya sangat menikmati waktu saya di sana."

"Tetapi ini adalah tujuh pertandingan sulit yang harus Anda menangi, jadi saya tidak menganggap remeh apa pun," ujar petenis berusia 22 tahun itu.

Swiatek memenangi pertandingannya yang ke-12 berturut-turut di lapangan tanah liat dengan mengalahkan Sabalenka, seperti yang ia lakukan di final Madrid belum lama ini.

Petenis Polandia itu meningkatkan rekor kemenangannya atas Sabalenka menjadi 8-3 dalam penampilan mengesankan lainnya dari turnamen yang hampir tanpa cela dengan tidak kehilangan satu set pun dalam perjalanannya menuju gelar.

Final di Roma tidak sedramatis pertandingan tiga set Madrid yang menegangkan karena Sabalenka, yang memenangi dua Australian Open terakhir, melakukan banyak kesalahan yang menguntungkan lawannya itu.

Swiatek merebut set pembuka hanya dalam waktu 36 menit melawan Sabalenka, yang berulang kali mengatakan bahwa Roma adalah turnamen impian untuk dimenangi.

Setelah Swiatek mematahkan servis Sabalenka di gim ketujuh, tinggal menunggu waktu saja sebelum ia menutup pertandingan tersebut.

"Saya bisa mengatakan pada set pertama saya tidak bermain bagus sama sekali. Saya tidak tahu, saya tidak merasakan permainan saya dengan baik," kata Sabalenka.

"Pada set kedua saya hanya mencoba untuk tetap sedikit lebih agresif... Saya hanya mencoba untuk memberinya sedikit tekanan."

Baca juga: Sabalenka dan Swiatek dominasi turnamen lapangan tanah liat di Roma

"Saya punya beberapa peluang untuk mematahkan servisnya. Mungkin jika saya memanfaatkan peluang itu, pertandingan akan berjalan berbeda. Saya tidak memanfaatkannya, jadi begitulah adanya," ujar petenis berusia 25 tahun itu.

Sementara itu, di sektor putra, Alexander Zverev berupaya memenangi gelar Roma keduanya ketika dia menghadapi Nicolas Jarry di final putra, Minggu.

Zverev berada di final Masters ke-11, menyamai rekor Boris Becker sebagai petenis Jerman dengan catatan final terbanyak sejak seri tersebut dimulai pada 1990.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Teguh Handoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024