Jakarta (ANTARA) - Berbagai misinformasi tembakau alternatif yang dianggap sama berbahaya dengan tembakau konvensional berpotensi menghambat penurunan prevalensi merokok karena perokok dewasa enggan beralih dari kebiasaan menyesap tembakau konvensional.
 
"Produk yang diciptakan untuk mengurangi risiko tidak mungkin sama berbahaya dengan produk sebelumnya. Banyak sekali informasi negatif yang beredar saat ini tidak berdasarkan kondisi sebenarnya, termasuk berita hoaks dan penyalahgunaan produk," kata Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Budiyanto di Jakarta, Senin.
 
Sejak 1995 sampai 2018 jumlah prevalensi merokok di Indonesia tumbuh signifikan mencapai angka 36,3 persen. Angka prevalensi merokok di Indonesia sudah menembus angka 69,1 juta jiwa.
 
Kondisi tersebut menjadi tantangan serius bagi pemerintah untuk menghadapi penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok.

Baca juga: Risiko vape sebagai rokok elektrik pada remaja
 
Budiyanto menuturkan produk tembakau alternatif menerapkan konsep pengurangan bahaya tembakau atau tobacco harm reduction, sehingga lebih rendah risiko.
 
Menurutnya, misinformasi yang menyamakan risiko antara produk tembakau alternatif dan rokok tidaklah tepat.
 
"Kami mendorong seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah untuk berperan aktif memberikan edukasi mengenai profil risiko produk tersebut berdasarkan penelitian ilmiah, bukan opini negatif yang dibuat untuk kepentingan tertentu," kata Budiyanto.
 
Di berbagai negara, rokok elektronik digunakan sebagai alat untuk mengurangi prevalensi merokok.

Baca juga: Tembakau alternatif bukan untuk generasi muda
 
Sejak awal, kata Budiyanto, pihaknya selalu mengkampanyekan pembatasan usia kepada seluruh pelaku usaha. "Kami memiliki skema pengawasan demi menjamin tidak ada penjualan kepada anak di bawah umur," ujarnya.
 
Peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Brown University, Jennifer Tidey mengatakan produk tembakau alternatif melalui proses pemanasan, bukan proses pembakaran seperti rokok, sehingga tidak menghasilkan TAR.
 
Meski rendah risiko, imbuhnya, tembakau alternatif bukan pintu masuk menuju kebiasaan merokok. Jumlah perokok meningkat usai kemunculan rokok elektronik belum bisa dibuktikan secara substansial.
 
Jennifer mengingatkan bila bukan perokok, maka jangan menggunakan vape. Namun bila perokok dan sulit berhenti, maka produk rendah risiko dapat menjadi opsi untuk mengurangi dampak buruk.

Baca juga: Pasien anak rawat inap akibat vape melonjak 733 persen sejak 2020
Baca juga: Guru Besar FKUI: Uap vape juga berbahaya pada orang di sekitar

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2024