Bali (ANTARA) - World Water Forum Ke-10 mengangkat peradaban Sungai Batanghari di Provinsi Jambi sebagai topik pembahasan dunia dalam merespons krisis air bersih yang sedang melanda sejumlah negara.

Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid usai menghadiri sesi diskusi bertema The power of local culture and knowledge for better water management di Bali Nusa Dua Convention Center, Kabupaten Badung, Bali, Selasa.

"Laporan perkembangan kondisi air Dunia 2024, kita tahu bahwa sebagian problem itu memang bisa mencari solusi teknis yang membangun infrastruktur yang bisa diakses dan seterusnya," kata Hilman dalam konferensi pers di Bali.

Laporan PBB melalui World Water Development menyebutkan 2,2 miliar orang di tahun ini tidak memiliki akses terhadap air minum. Selain itu, ada 1,4 miliar orang di 2022 yang terdampak kekeringan.

Selain itu, pada kurun yang sama juga terdapat 10 persen migrasi global karena pengaruh kekurangan air.

Baca juga: Festival Batanghari kembalikan keasrian sungai terpanjang di Sumatera
Baca juga: Unja teliti ekosistem dan sejarah Sungai Batanghari


Dalam agenda diskusi yang menghadirkan perwakilan UNESCO serta berbagai delegasi negara itu dibahas tentang jalur rempah yang membentang dari kawasan Pasifik sampai pantai timur Afrika.

Hilman mengatakan, Muaro Jambi seluas 4.000 hektare di bantaran aliran Sungai Batanghari sepanjang 800 Km merupakan jantung dari jalur rempah tersebut.

"Ini bukan hanya satu jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau melalui jalur laut, tetapi juga sistem sungai yang sangat kompleks di nusantara ini," katanya.

Situs yang sedang direvitalisasi oleh Kemendikbudristek itu, kata Hilman, banyak menyimpan temuan bersejarah yang berasal dari abad ke-4 sampai abad ke-14 untuk dipelajari sebagai khazanah pengetahuan warisan, yang kalau digunakan dengan tepat bisa menjawab persoalan tata kelola air secara masif.

"Karena belajar dari kearifan lokal di Bali ini, di mana masyarakat yang ada di hilir merasakan manfaat dari pengelolaan air yang sifatnya berkelanjutan, di hulunya memberikan dukungan sistem solidaritas," katanya.

Hilman mengatakan khazanah budaya Batanghari dapat kembali dihidupkan melalui di masa sekarang dengan dukungan sains dan teknologi modern untuk menjawab sebagian persoalan air global secara bijak dan lestari.

"Sistem nilai yang sebetulnya membentuk keseluruhan sistem pengelolaan air inilah yang kita pelajari. Itu adalah titik tolaknya," katanya.

Baca juga: Deklarasi tingkat menteri World Water Forum ke-10 disahkan
Baca juga: Presiden Jokowi ajak delegasi World Water Forum tinjau pembibitan bakau di Bali

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Indra Gultom
COPYRIGHT © ANTARA 2024