Jakarta (ANTARA) - Center for Energy Security Studies (CESS) meminta pemerintah untuk mengaktifkan kembali dan memaksimalkan kinerja satuan tugas (satgas) khusus untuk menangani illegal drilling dan illegal tapping.

Direktur Eksekutif CESS Ali Ahmudi Achyak mengharapkan pemerintah harus menangani kedua aktivitas ilegal itu dengan lebih serius.

"Selain satgas bentukan pemerintah yang dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas, perusahaan pengelola juga harus meningkatkan standar keamanan dan pengamanan wilayah kerjanya," ucap Ali dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Tidak hanya berbahaya dan mengancam bagi lingkungan, aktivitas illegal drilling dan illegal tapping juga merupakan pelanggaran hukum dan turut menghambat target lifting 1 juta barrel oil per day (BOPD).

Oleh karena itu, ia menilai pengoperasian sumur minyak ilegal di Indonesia memberikan efek berganda (multiplier effect) bagi negara, terutama pada target lifting 1 juta BOPD tersebut.

"Illegal drilling maupun illegal tapping turut berpengaruh terhadap target lifting 1 juta BOPD karena jika tidak segera diselesaikan akan semakin menggila dan berefek domino ke wilayah lainnya," ujarnya.

Sementara itu, pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menuturkan dampak utama dari aktivitas lifting pada sumur ilegal, yakni berkurangnya pendapatan negara hingga gambaran buruk terhadap industri migas nasional.

Ia mengatakan illegal drilling menyebabkan kerugian negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.

"Ketika ada kecelakaan, maka SKK Migas dan KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) akan diminta oleh instansi terkait untuk membantu melakukan penanganan, yang itu tentu saja akan membutuhkan biaya dan sumber daya terkait," kata Bisman.

Adapun, biaya penanganan itu menggunakan biaya KKKS, akibatnya biaya operasional KKKS akan bertambah yang pada gilirannya akan mengurangi penerimaan negara karena biaya yang telah dikeluarkan oleh KKKS untuk melakukan penanganan kecelakaan karena illegal drilling akan ditagihkan ke negara melalui skema cost recovery.

Menurut Bisman, risiko kebocoran lifting pada aktivitas illegal drilling dan illegal tapping sangat tinggi seperti yang banyak terjadi di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel).

"Illegal drilling dan illegal tapping merupakan tindak pidana, berisiko tinggi, dan juga merusak lingkungan hidup. Hal ini karena lemahnya penegakan hukum. Selain itu, masalah sosial di sekitar lokasi, masyarakat merasa tidak dapat menikmati potensi sumber daya alam yang ada di daerahnya," tuturnya.

Sebelumnya, sebanyak tiga sumur minyak ilegal di Keluang, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel meledak dan terbakar selama dua hari. Insiden itu terjadi di sebuah kebun karet di Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Keluang, Minggu (12/5).

Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel dikenal sebagai kawasan yang banyak terjadi illegal drilling. Banyaknya sumur-sumur minyak ilegal di wilayah tersebut kerap kali meresahkan warga sekitar sekaligus mengganggu kegiatan operasional hulu migas di dalam negeri.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2021 saja tercatat sekitar 8.000 sumur ilegal di Indonesia dan menghasilkan minyak kurang lebih sebanyak 2.500-10.000 BOPD. Angka tersebut diperkirakan terus meningkat tiap tahunnya dan ikut mengancam sektor hulu migas nasional.

Baca juga: Pemilik sumur minyak ilegal serahkan diri ke Polda Jambi 
Baca juga: Polri bantu rumuskan regulasi cegah korupsi di "illegal drilling"

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ahmad Wijaya
COPYRIGHT © ANTARA 2024