PBB (ANTARA News) - Dewan Keamanan PBB hari Kamis menyetujui pembentukan pasukan penjaga perdamaian badan dunia itu di wilayah Darfur, Sudan, kendati pemerintah Kartum menentang keras. Persetujuan itu diperoleh dari 12 suara mendukung, dengan Rusia, Cina dan Qatar --satu-satunya negara Arab anggota dewan tersebut-- abstain, lapor Reuters. Pasukan itu tidak akan ditempatkan sebelum Sudan menyetujuinya. PBB ingin mengganti atau menyatukan pasukan Afrika Bersatu di Darfur, yang dukungan keuangannya hanya cukup sampai mandatnya habis 30 September dan tidak mampu mengahiri kemelut kemanusiaan di daerah tanpa hukum di Sudan barat itu. Resolusi itu menyeru pembentukan pasukan 22.500 tentara dan polisi PBB serta pemasokan segera bantuan udara, teknik dan komunikasi bagi ke-7.000 anggota pasukan Afrika tersebut. Upaya itu, yang dirancang Inggris dan Amerika Serikat, direncanakan untuk memungkinkan perencanaan dan pembibitan pasukan untuk penyerahan sewaktu-waktu. Sejak penandatanganan naskah perdamaian rapuh bulan Mei antara pemerintah dengan dua kelompok pemberontak, pertempuran meningkat dan tentara Sudan menyatakan ingin mengirim 10.000 tentaranya ke Darfur untuk melawan pemberontak, yang menolak bertandatangan, meningkatkan ketakutan akan perang besar dan kematian ribuan lagi. Dutabesar Amerika Serikat John Bolton menyatakan senang pada keputusan Dewan Keamanan itu. "Sangat penting kita bergerak segera untuk mewujudkannya secara penuh," katanya kepada dewan tersebut, "Kita tidak dapat dapat menerima penundaan." "Kita harus pikirkan bahwa dua juta orang sedang menderita di Darfur," kata Dutabesar Ghana untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Nana Effa-Apenteng, yang Agustus ini menjadi ketua Dewan Keamanan, pada sidang sebelumnya. PBB memiliki sekitar 10.000 tentara, pada umumnya dari Asia, di Sudan selatan untuk memantau perjanjian perdamaian di sana dan diharapkan memindahkan beberapa satuan ke Darfur bersama satuan dari Afrika di kawasan tersebut. Kemelut Darfur terjadi sejak Februari 2003, saat kelompok pemberontak bukan Arab mengangkat senjata melawan pemerintah, yang kemudian menggerakkan pejuang Arab Janjaweed. Pejuang tersebut diduga melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan. Pertempuran, penyakit dan kelaparan di kawasan tersebut telah menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa 2,5 juta orang mengungsi. Pada beberapa bulan terahir, pemberontak dituduh sering melakukan kejahatan terhadap warga.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006