Semarang (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang Anang Budi Utomo menilai yang menjadi permasalahan hingga menimbulkan polemik tentang "study tour" atau karya wisata hingga ada yang melarang sebenarnya pada aspek transportasi.

"Yang jadi masalah kecelakaan (rombongan study tour) yang terjadi itu kan di armadanya. Permasalahannya bukan di sekolahnya, bukan di wisatanya, tapi di transportasinya," katanya, di Semarang, Senin.

Menurut dia, penyelenggara wisata sebisa mungkin memastikan kelayakan armada transportasi akan yang digunakan untuk "study tour" agar memenuhi aspek-aspek keselamatan dan keamanan.

Anang secara pribadi menyampaikan bukan berarti "study tour" dihentikan, sebab kegiatan karya wisata itu dibutuhkan oleh siswa sebagai sarana belajar sembari berekreasi.

"'Study tour' itu kan berarti belajar dengan berwisata. Artinya, di tempat wisata ada proses dan sumber belajar yang diperoleh siswa," kata Anang yang juga Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang.

Ia mengingatkan bahwa "study tour" juga memiliki "multiplier effect" terhadap berbagai sektor, terutama perekonomian usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

"Itu (study tour) punya 'multiplier effect'. Kelihatannya hanya piknik, tapi kan menyediakan makanan, ada buah, sayur, dan snack'. Pedagang dan pelaku UMKM jalan, petani yang nanam buah juga laku," katanya.

Anang khawatir jika program "study tour" benar-benar dihentikan sekolah dengan jumlah yang sangat banyak akan menimbulkan persoalan lain, termasuk bagi pelaku ekonomi, khususnya UMKM.

"Ada lagi ini 'statemen, red.) bahwa 'study tour' bukan kewajiban. Ingat, bahwa 'study tour' itu termasuk kokurikuler. Jadi, ada kurikuler, ekstra kurikuler, dan kokurikuler, yakni kegiatan yang mendukung kurikulum," katanya.

Selain belajar, kata dia, anak-anak juga membutuhkan "refreshing" atau istilah sekarang "healing" yang bisa didapatkan lewat "study tour", sembari belajar dan menambah khasanah atau wawasan baru.

"Mungkin ada lo yang seumur hidup enggak pernah piknik dan ke tempat itu ya saat 'study tour'. Saya saat itu ke Bali ya 'study tour' waktu SMA, ke Jakarta ya waktu SMP," katanya.

Mengenai siswa kurang mampu yang merasa keberatan dengan "study tour", Anang melihat persoalannya berbeda, sebab biasanya dilakukan subsidi silang dari anak-anak dari keluarga yang mampu.

"Pengalaman saya, anak saya. Misalnya ada temannya tidak mampu. Teman-temannya iurang kok 'ngangkat' mereka untuk berangkat," katanya.

Kemudian, kata dia, "study tour" juga tidak bersifat wajib sehingga jika ada yang memang tidak bisa ikut bisa diberikan tugas setara dengan kegiatan tersebut.

"Misalnya, 'study tour' menngunjungi Candi Borobudur. Yang enggak ikut (ditugasi) membuat resume tentang Candi Borobudur sehingga mereka juga bisa sama-sama belajar tentang Borobudur, misalnya bisa 'searching' lewat Google atau di laman-laman yang ada," katanya.

Baca juga: FSGI: "Study tour" perlu tetap ada untuk tingkatkan pariwisata
Baca juga: Menparekraf minta studi tur dijalankan kembali dengan syarat
Baca juga: KemenPPPA: Study tour hak anak peroleh pendidikan di luar kelas

 

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Biqwanto Situmorang
COPYRIGHT © ANTARA 2024