Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti perlunya terobosan kebijakan yang ekstrem apabila Indonesia ingin mewujudkan swasembada kedelai, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri tanpa impor.

“Kenapa saya katakan ekstrem, karena kebijakan ini sangat sulit untuk kita lakukan dengan kondisi saat ini,” kata Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN, Dewa Ketut Sadra Swastika dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Dewa mengatakan untuk mencapai swasembada kedelai ada beberapa kebijakan yang perlu dilakukan. Pertama, menyediakan lahan yang luas untuk dijadikan kawasan baru produksi kedelai.

Baca juga: Program tanam 1.000 hektare kedelai di Lampung dimulai September

Ia menambahkan lahan yang ada saat ini sudah banyak digunakan oleh tanaman palawija lain, seperti jagung dan kacang hijau. Kedelai juga tidak mampu bersaing dengan palawija lain, sehingga sulit mengharapkan penambahan areal panen dari lahan usaha tani dan petani yang sudah ada.

Kedua, perlu dipastikan ketersediaan benih kedelai yang bermutu, karena menurut dia, industri benih kedelai Indonesia masih tertinggal, sehingga perlu didorong untuk berkembang.

Ketiga, usaha tani kedelai harus dilakukan dalam skala besar. Petani kecil dengan lahan terbatas, menurutnya, sulit untuk mencapai efisiensi dan skala ekonomi yang optimal. Oleh karena itu, perlu melibatkan BUMN dan swasta untuk mengelola usaha tani kedelai skala besar.

Keempat, diperlukan jaminan pasar yang jelas. Dewa berpendapat petani tidak akan termotivasi untuk menanam kedelai jika tidak ada kepastian pembeli. Untuk itu, perlu campur tangan pemerintah untuk memberikan jaminan pasar, sehingga petani tidak ragu untuk berinvestasi dalam usaha ini.

Baca juga: Banyumas targetkan luas tanam kedelai capai 2.000 hektare

Dewa menyampaikan dari sisi kebijakan pembangunan pertanian, kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Program-program peningkatan produksi masih terfokus pada padi untuk swasembada beras. Sedangkan prioritas kedua adalah peningkatan produksi jagung melalui penggunaan benih hibrida.

Kebijakan kelima yang diperlukan adalah regulasi impor kedelai perlu dikaji ulang. Impor kedelai harus dibatasi pada saat panen raya kedelai lokal, serta diberlakukan biaya masuk yang tinggi untuk melindungi petani dalam negeri.

Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri.

Baca juga: Indonesia perlu kekhasan produk olahan kedelai bukan swasembada

Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa pada 2023, Indonesia mengimpor 2,27 juta ton kedelai dengan nilai 1,47 miliar dolar AS atau sekitar Rp23,65 triliun.

Di sisi lain, ekspor kedelai dari Indonesia hanya mencapai 2.561 ton dengan nilai 1.159 dolar AS atau sekitar Rp18,65 juta.

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024