Jakarta (ANTARA) - Dewan Periklanan Indonesia (DPI) selaku konsorsium yang membawahi berbagai asosiasi di bidang periklanan dan industri kreatif meminta pemerintah untuk meninjau ulang atas pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau dalam RPP Kesehatan.

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan itu sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI) M Rafiq dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, mengatakan, DPI menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif sebagai pemangku kepentingan utama yang terdampak dalam merancang aturan dan pasal-pasal yang identik dengan pelarangan tersebut.

"Kami sudah bersurat kepada pemerintah, sebagai inisiator regulasi, namun tidak mendapatkan respons apa pun hingga saat ini," ujar Rafiq dalam konferensi pers "Pernyataan Sikap Dewan Periklanan Indonesia terhadap Larangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship Produk Tembakau pada RPP Kesehatan" di Jakarta, Selasa.

Dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang berpotensi muncul pada beleid tersebut, Rafiq bersama anggota konsorsium DPI menuangkan permohonan dan masukkannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meninjau ulang pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di RPP Kesehatan.

Tak hanya itu, ia juga meminta agar regulasi tersebut tidak disahkan tanpa adanya pelibatan DPI sebagai perwakilan dari industri periklanan dan kreatif.

"Rencana aturan yang masih menuai polemik ini nantinya dapat menghambat pengembangan industri ekonomi kreatif, yang telah menjadi komitmen kuat baik bagi pemerintahan saat ini dan pemerintahan selanjutnya di bawah Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran," ucapnya.

Rafiq menjelaskan iklan rokok sendiri sudah diatur dalam berbagai pengaturan, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) serta Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 guna memastikan komunikasi yang ditujukan oleh produsen hanya menjangkau konsumen dewasa (berusia 18 tahun ke atas).

Selain itu, rambu-rambu tentang iklan rokok juga telah diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), yang mana seluruh peraturan dan ketentuan tersebut telah dipatuhi secara disiplin oleh pelaku industri kreatif.

"Sebelum pandemi, tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif mencapai sekitar satu juta orang, pasca pandemi tersisa 750.000 orang. Jika pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau ditetapkan di RPP Kesehatan maka kami khawatir angka tenaga kerja tersebut bisa kembali merosot," ujar Rafiq.

Pada kesempatan sama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar mengungkapkan bahwa sejumlah aturan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau tersebut akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan industri periklanan dan kreatif di tanah air, khususnya media pertelevisian.

Pasalnya, kata dia, iklan rokok telah menjadi kontributor utama pendapatan iklan media.

Berdasarkan data Nielsen, iklan rokok termasuk dalam 10 besar kontributor pendapatan iklan media di Indonesia dengan nilai mencapai Rp4,5 triliun. Angka itu hanya mewakili paruh pertama tahun 2021. Secara keseluruhan, iklan rokok menyumbangkan pundi-pundi hingga Rp9,1 triliun terhadap pendapatan iklan media sepanjang 2021.

Sementara itu, dari 16 subsektor ekonomi kreatif, setidaknya terdapat enam subsektor yang terkait dengan industri tembakau dari aspek periklanan hingga pembuatan materi kreatif. Adapun, secara kolektif, enam subsektor itu menjadi lapangan pekerjaan bagi 725.000 jiwa di Indonesia.

"Perlu dipahami bahwa iklan juga akan menentukan kualitas konten dari media penyiaran. Maka, dampak kerugian yang akan ditimbulkan dengan hilangnya Rp9,1 triliun ini tidak hanya berhenti pada kerugian media penyiaran namun juga mempengaruhi kualitas siaran hingga kemampuan media memperkerjakan para karyawannya," kata Gilang.

Sedangkan, Ketua Umum Asosiasi Media Luar-griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi turut menyesalkan adanya pengaturan media luar ruang untuk iklan produk tembakau yang mengharuskan jarak 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

Menurut dia, hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan karena tidak adanya detil terkait penentuan jarak. Ia mengkhawatirkan aturan terkait jarak itu akan menimbulkan multitafsir di lapangan sekaligus menjadi pekerjaan rumah (PR) baru bagi pemerintah.

Baca juga: Industri kreatif minta dilibatkan dalam pengesahan RPP Kesehatan
Baca juga: DPI tolak larangan iklan produk tembakau di RPP Kesehatan
Baca juga: DPI sampaikan ikrar junjung tinggi etika pariwara

 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ahmad Buchori
COPYRIGHT © ANTARA 2024