Yogyakarta (ANTARA) - Bunyi tabuhan botol kaca, ember, galon, hingga kaleng cat bekas membentuk sebuah orkestrasi musik yang enak didengar di pelataran kompleks Kantor Kepatihan Yogyakarta, sore itu.

Selaras irama musik, sejumlah muda-mudi, dengan muka bercat putih bak pemain pantomim, lincah menari sambil memegang sapu lidi.

Memakai ikat di kepala dengan mimik muka yang seragam, mereka menyuguhkan tarian unik yang seolah mengombinasikan unsur tari jathilan dengan gerakan orang sedang menyapu.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang berdiri tidak jauh dari pertunjukan itu tampak seksama menikmati, didampingi Bupati Bantul Abdul Halim Muslih dan Penjabat Wali Kota Yogyakarta, kala itu, Singgih Raharjo, di sebelahnya.

Tidak hanya menonton, Abdul Halim bersama Singgih pun bergabung dengan para penari, kemudian ikut memainkan gerakan menyapu.

Tarian itu dipersembahkan setelah Pemerintah Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta menyepakati kerja sama pengolahan sampah bersama dengan meneken nota kesepahaman (MoU) di Kepatihan, Yogyakarta.

Tarian unik beserta musik dari barang-barang bekas itu tak lepas dari tangan dingin dua sosok seniman lukis Yogyakarta, Samuel Indratma (53) dan Kuat (46) yang terusik dengan persoalan sampah di Yogyakarta.

Samuel yang lebih dikenal sebagai seniman mural di Kota Gudeg tergugah melibatkan diri ikut menangani masalah sampah yang tak kunjung tuntas di wilayah itu, melalui jalur seni.

Dengan melibatkan para siswa Sekolah Sungai Siluk di bawah asuhan Kuwat, pria berambut gimbal, itu menggagas tarian yang sepaket dengan musik barang bekas berjudul "Membunyikan Sampah Yogyakarta".

Musik dari barang bekas menjadi simbol bahwa benda-benda yang terbengkalai bisa menjadi berguna manakala dikelola. Nyatanya, botol, ember, serta kaleng bekas itu mampu melahirkan alunan merdu jika dibunyikan dengan tabuhan yang teratur.

Lewat tarian itu, Samuel ingin membangun kesadaran warga bahwa persoalan sampah adalah "pekerjaan rumah" yang perlu diselesaikan bersama-sama, bukan hanya pemerintah atau instansi yang membidangi masalah persampahan.

Seniman, seperti dirinya, pun bisa berkontribusi melalui berbagai cara, termasuk lewat medium seni.

"Lewat tarian ini saya membayangkan bagaimana kalau kita bersama-sama membersihkan kota ini untuk persoalan yang sedang dihadapi bersama," ucap pria kelahiran Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, itu saat berbincang dengan ANTARA. 

Persoalan sampah di DIY mengemuka setelah Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, ditutup sementara oleh pemda pada 23 Juli sampai 6 September 2023, karena melebihi daya tampung.

Akibatnya, sampah warga, kala itu sempat menumpuk di sejumlah titik Kota Yogyakarta, hingga muncul istilah "Jogja Darurat Sampah".

Per 1 Mei 2024, Pemda DIY resmi menutup permanen layanan TPST Piyungan berbasis landfill, yang telah melayani warga Yogyakarta, Sleman, dan Bantul, sejak 1996.

Kabupaten/kota di DIY diwajibkan mampu mengelola sampah secara mandiri dengan menyadarkan masyarakatnya dalam upaya memilah dan mengurangi, hingga mengolah sampah secara mandiri.
Seniman lukis dan mural Yogyakarta, Samuel Indratma (ANTARA/Luqman Hakim)

Menggugah kesadaran

Samuel percaya bahwa seni bisa berkontribusi mengomunikasikan persoalan sampah secara lebih atraktif, menarik, estetik, dan berdaya.

Keyakinan itu berdasar pada pengalamannya yang telah malang melintang menggerakkan penataan kawasan permukiman di Kota Yogyakarta lewat seni mural sejak tahun 2000 bersama kelompok seni bentukannya, "Apotik Komik" dan "Jogja Mural Forum".

Lewat seni, penyadaran masyarakat bisa diwujudkan tanpa cara-cara menggurui, apalagi memaksa.

Bagi seniman peraih penghargaan seni dan budaya dari Pemerintah Kota Yoyakarta pada 2005 ini, 
Menggugah itu bisa jadi dengan tidak membuat bising tapi membuat merdu. 

Tentu tidak hanya berhenti di tarian. Melalui keahlian di bidang seni mural, Samuel masih memiliki mimpi dan gagasan-gagasan besar untuk ikut membantu mengatasi masalah sampah di Yogyakarta.

Kuat adalah sahabat Samuel sesama perupa yang memiliki kegelisahan yang sama, sehingga terlibat menangani masalah sampah.

Dalam penciptaan tarian "Membunyikan Sampah Yogyakarta", pria kelahiran Yogyakarta 15 Juni 1978 itu membantu penataan elemen visual untuk meningkatkan estetika gerakan tari.

Jauh sebelum gaduhnya Jogja darurat sampah pada medio 2023, komitmen Kuwat untuk terlibat menangani sampah, selain melukis, sudah terbentuk sejak 2016, hingga mendirikan Sekolah Sungai Siluk.

Kala itu pengendara dan warga di sekitar tempat tinggal Kuat di kawasan Imogiri, Bantul, terbiasa membuang sampah di bawah jembatan Sungai Siluk hingga muncul tumpukan membentuk gunungan sampah.

Sebagai warga yang tinggal tidak jauh dari jembatan itu, Kuat yang merasa risih dengan pemandangan sampah kemudian berinisiatif memunguti sampah dengan mengajak pemuda setempat.

Sekalipun dirinya adalah seniman lukis yang sibuk dengan beragam pameran, Kuat sadar bahwa ia perlu berbuat sesuatu agar problem lingkungan itu segera berakhir.

Dia kemudian mengikatkan jaring penghalang di jembatan itu disertai pemasangan spanduk bertuliskan larangan membuang sampah.

Tidak berhenti di situ, Kuat mengikis budaya membuang sampah sembarangan dengan meminta sampah atau barang-barang bekas dari warga yang lalu dipilah, dijual, dan hasilnya dikembalikan kepada mereka.

Secara perlahan, namun pasti, edukasi yang rutin ditanamkan tersebut membuahkan hasil hingga pada 2017 warga mampu mengelola secara mandiri dan tidak ada lagi yang membuang sampah di bawah jembatan Sungai Siluk.

Masyarakat pun semakin segan membuang sampah di jembatan Sungai Siluk, lantaran Kuat bersama komunitas Sekolah Sungai Siluk yang ia dirikan rutin menggelar kegiatan belajar anak-anak, termasuk beberapa kali menghelat pameran lukisan bersama di bantaran sungai itu.
Seniman lukis Yogyakarta, Kuat (ANTARA/Luqman Hakim)

Penuntasan bersama

Penuntasan masalah sampah memerlukan strategi yang tepat dan cepat oleh pemda bersama lintas sektor terkait, namun rumah tangga sebagai hulu penghasil sampah terbesar perlu pula dilibatkan dengan meningkatkan kesadaran mereka untuk mengelola secara mandiri.

Kendati demikian, kesadaran tidak selalu serta merta muncul. Hal itu perlu terus menerus dibiasakan dan dibangun dengan berbagai medium pendekatan, termasuk melalui karya seni.

Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X menyadari bahwa selain berbagai program yang dilakukan pemerintah, masyarakat perlu diposisikan sebagai subjek, bukan objek dalam mengatasi masalah sampah.

Forum-forum dialog bersama warga perlu diperbanyak karena sejatinya masyarakat sudah mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan. Pemerintah hanya mengarahkan. 

Ahmad Musaddat, penggiat lingkungan yang juga Direktur Sanggar Inovasi Desa Panggung Harjo, Bantul, memandang upaya yang dilakukan Samuel dan Kuat adalah bagian contoh pendekatan penting selain kebijakan pemda, hingga penerapan teknologi mutakhir untuk penuntasan masalah sampah.

Alih-alih saling menuding, pendekatan komprehensif seyogianya dirumuskan bersama-sama.

Beragam SDM perlu dilibatkan, mulai dari praktisi lintas bidang, akademisi puluhan kampus, pegiat lingkungan, hingga berbagai lembaga atau ormas, termasuk seniman/budayawan yang komplet tersedia di DIY.

Pendekatan seni yang dilakukan Samuel dan Kuwat sekadar elemen pemantik yang perlu dirangkai dengan praktik baik dan inovasi-inovasi lain, sehingga menjadi kekuatan besar untuk segera mengakhiri masalah sampah yang masih mendera Yogyakarta.

Jangan sampai yang muncul hanya kemarahan karena marah tidak menyelesaikan masalah.
 

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2024