Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyarankan produksi nikel untuk ekspor dibatasi antara 30 hingga 40 persen agar bisa dominan dipakai untuk industri di dalam negeri.

Wakil Kepala BRIN Amarulla Octavian mengatakan nikel adalah material strategis dan terbatas, sehingga suatu saat dapat mengalami penurunan dan mengarah pada keadaan kritis jika tidak dikelola dengan bijaksana.  
 
"Dengan mengelola sumber daya alam yang dimiliki secara efektif, Indonesia dapat mengurangi dampak lingkungan yang terkait dengan impor material dan mempercepat pembangunan berkelanjutan," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Jumat.  
 
Indonesia memiliki nikel terbesar kedua di dunia setelah Kaledonia. Jumlah cadangan bijih nikel sebanyak 5,24 miliar ton dan cadangan logam nikel sebanyak 57 juta ton.
 
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Metalurgi BRIN Effendi mengatakan total sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 17,68 miliar ton dan sumber daya logam nikel sebanyak 177 juta ton.
 
Menurutnya, bijih nikel 90 persen tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
 
"Indonesia memiliki cadangan komoditas mineral dan batu bara cukup melimpah yang memiliki peran strategis dalam pembangunan," kata Effendi.
 
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa Indonesia perlu mengembangkan produksi nikel untuk baterai mobil listrik, paduan produk nikel dan serbuknya, serta pengembangan industri senyawa nikel.
 
Tak hanya stainless steel dan baterai listrik, diversifikasi produk sangat penting untuk pengembangan industri nikel, termasuk dorongan regulasi yang bisa menjamin kondusivitas industri nikel di Indonesia.

 
Baca juga: BPS catat nilai ekspor nikel naik 45,85 persen pada April 2024
Baca juga: RI-China bahas kerja sama riset di bidang pengolahan nikel
Baca juga: PT PP selesaikan pembangunan proyek pelabuhan hilirisasi nikel

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nurul Hayat
COPYRIGHT © ANTARA 2024