Jakarta (ANTARA) - Satgas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menyatakan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan seluruh aturan turunannya menjadi payung hukum yang dapat memudahkan izin berusaha sehingga menjadi instrumen dalam memacu pertumbuhan ekonomi 2024.

“Upaya pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi ini, salah satunya melalui akselerasi penerapan UU Cipta Kerja dengan segala aturan turunannya," kata Sekretaris Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja Arif Budimanta dalam pernyataan di Jakarta, Jumat.

Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja, kata Arif, secara rutin menggelar diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk menciptakan keselarasan dan integrasi sistem perizinan dasar yang baik di berbagai daerah.

Sejak adanya UU Cipta Kerja, Arif menjelaskan bahwa ada upaya untuk mereformasi secara struktural kondisi perekonomian karena produk legislasi itu memberikan kemudahan, pemberdayaan, sekaligus perlindungan kepada dunia usaha. Adapun pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di tahun 2024 mencapai lima persen dengan dorongan reformasi struktural.

“Dalam UU Cipta Kerja semua perizinan berbasis resiko, hal ini menjadi suatu terobosan baru yang lebih sistematis. Risiko itu menyangkut lingkungan, keselamatan manusia, serta aspek sosial lainnya,” ujar Arif.

Menurut Arif, perizinan dasar seperti PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), SLF (Sertifikat Laik Fungsi), dan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) menjadi sangat penting dan perlu reformasi agar semakin mudah serta cepat prosesnya.

Lebih lanjut, Arif menekankan bahwa dalam era 4.0, semua permohonan yang berkaitan dengan perizinan harus mulai beralih dari manual menjadi digital.

“Instrumen yang ada dalam perizinan itu ada instrumen sistem, yaitu OSS-RBA (Online Single Submission - Risk Based Approach). Adanya OSS ini, menjadi dorongan agar masyarakat, khususnya pemohon paham akan tata cara penggunaannya secara digital,” kata dia.

Arif melanjutkan bahwa sistem tersebut tidak akan terintegrasi dengan baik jika tidak ada kerja sama yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta penerima manfaat.

“Hal ini karena integrasi sistem membutuhkan integrasi aturan, jadi aturan itu tidak hanya berada di tingkat kementerian saja, daerah pun perlu mengeluarkan perda (peraturan daerah) atau perkada (peraturan kepala daerah) yang sejalan dengan peraturan pusatnya,” kata Arif.

Arif mendorong masyarakat untuk melakukan diskusi secara terbuka serta memberikan usulan-usulan yang solutif demi menciptakan forum yang kritis dan dinamis dalam setiap sosialisasi UU Cipta Kerja.

“Melalui berbagai FGD, kami (Satgas UU Cipta Kerja) sedang melakukan monitoring akan implementasi pelayanan perizinan berusaha di lapangan. Apakah sudah baik atau memang masih memerlukan perbaikan, sehingga dibutuhkan forum yang kritis dan solutif,” katanya.

Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN Rahma Julianti menjelaskan bahwa perizinan dasar KKPR sekarang menjadi semakin mudah dan yang paling penting memberikan kepastian kepada pemohon.

“Bahkan bagi UMK, mereka bisa membuat penyataan mandiri di sistem OSS bahwa usaha yang mereka jalankan sesuai dengan rencana tata ruang, bisa langsung terbit itu,” kata Rahma.

Walaupun secara aturan sudah mengalami perbaikan, tetapi menurut Rahma masih ada beberapa isu KKPR yang sering dihadapi saat pelaksanaannya.

“Isu pelaksanaan KKPR secara umum ada tiga aspek, pertama dari segi SDM, masih ada pemohon yang belum paham terkait proses bisnis pelayanan penerbitan KKPR,” kata Rahma.

Isu lainnya, Rahma menjelaskan ada dari aspek teknis pelaksanaannya di mana ada ketidaksesuaian KKPR bersifat otomatis hasil dari pernyataan mandiri pelaku usaha dengan rencana tata ruang dan tingkat risiko kegiatannya. Kemudian, dari aspek Sistem Elektronik Pelayanan KKPR, kerap terjadi kendala di sistem OSS.

Akan tetapi, Kementerian ATR/BPN pun, kata Rahma, sudah menyiapkan peta jalan percepatan agar isu tersebut bisa diatasi.

“Ada 4 strategi percepatan pelayanan KKPR, yaitu percepatan penyusunan RDTR, pembangunan dan pemanfaatan pusat data nasional, peningkatan kualitas SDM pelayanan KKPR, serta sosialisasi dan edukasi masyarakat dalam ekosistem digital layanan KKPR,” ujar Rahma.

FGD yang digelar Satgas Sosialisasi UU Cipta Kerja selalu mengundang berbagai pemangku kepentingan. Arif mencontohkan salah satu FGD itu digelar di Medan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu dengan mengusung tema “Reformasi Penerbitan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha”. Dalam FGD di Medan beberapa waktu lalu, sosialisasi UU Cipta Kerja turut melibatkan di antaranya perwakilan Dinas Perumahan Medan, Kawasan Permukiman Dan Penataan Ruang Kota Medan, Dinas Cipta Karya Dan Tata Ruang Kabupaten Deli Serdang, Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Medan, Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Konstruksi Kota Medan, Dinas PUPR Kota Medan, dan Dinas Perikanan Kabupaten Deli Serdang.

Selain instansi pemerintah setempat, turut hadir sebagai peserta FGD dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Sumatera Utara, Asosiasi Real Estate Indonesia (REI) Sumatera Utara, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Sumatera Utara, Federasi Asosiasi Perikanan Indonesia (FAPI) Sumatera Utara, dan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Sumatera Utara.


Baca juga: Satgas sebut UU Cipta Kerja dalam tahap perbaikan
Baca juga: Satgas tegaskan UU Cipta Kerja beri tiga manfaat ke UMKM
Baca juga: Satgas: UU Cipta Kerja permudah perizinan bagi pelaku usaha


Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Faisal Yunianto
COPYRIGHT © ANTARA 2024