Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan mengatakan, Indonesia berpartisipasi secara aktif dalam perundingan Pandemic Treaty pada Intergovernmental Negotiating Body (INB) dan memperjuangkan kepentingan nasional, terutama untuk isu-isu strategis seperti sistem surveilans, transfer teknologi, dan kesetaraan akses dalam menghadapi pandemi.

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, Kemenkes mengatakan bahwa selama pandemi COVID-19, terlihat adanya kesenjangan antara negara maju dan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Isu nasionalisme sempit dan populisme, pendanaan global, hak cipta, berbagi patogen, serta manfaat dari produk yang berkaitan dengan pandemi semakin memperbesar kesenjangan.

“Kesenjangan tersebut menyebabkan, hingga saat ini, masih ada 30 persen penduduk dunia yang belum pernah sekalipun mendapatkan vaksin," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. M Syahril.

Dia menuturkan, pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa banyak negara tidak mampu membentengi kesehatan masyarakatnya. Sistem ketahanan kesehatan global, terutama di negara berkembang, terlihat sangat rapuh, mulai dari kekuatan finansial, ketersediaan akses terhadap vaksin, obat, dan diagnostik (VTD).

Dia menyebutkan, pengalaman pahit COVID-19 mendorong pembentukan instrumen internasional baru untuk mengatasi persoalan kesiapsiagaan dan respons pandemi bernama Pandemic Treaty/Pandemic Agreement.

“Proses negosiasi sudah berlangsung sejak Desember 2021, tetapi karena belum mencapai kesepakatan, sidang World Health Assembly ke-77 memutuskan untuk memperpanjang negosiasi hingga sidang WHA berikutnya,” Syahril.

Baca juga: Kemenkes tindak tiga nakes yang diduga jadi calo SKP

Dia menyebut bahwa negosiasi yang sangat alot telah dilakukan lebih dari 10 kali hingga batas waktu pada tanggal 24 Mei 2024, namun masih ada beberapa pasal yang belum disepakati, terutama mengenai Pathogen Access and Benefit Sharing (PABS), pencegahan dan instrumen One Health, transfer teknologi dan ilmu pengetahuan, no-fault compensation, dan pendanaan.

Secara spesifik, ada empat poin yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dalam komponen Pandemic Treaty, yakni Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS), instrumen One Health, transfer teknologi, dan pendanaan. Empat poin ini terkait dengan kesenjangan antara negara maju dan berkembang.

Mengenai PABS, kata Syahril, yang menunjukkan kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi, Indonesia mendorong agar setiap data sharing, khususnya yang melibatkan patogen dan informasi sekuens genetik, disertai pembagian manfaat yang setimpal.

Selain itu, katanya, pemerintah juga mendorong adanya upaya untuk memastikan adanya pengaturan internasional mengenai standar data dan interoperabilitas, di mana Indonesia telah menginisiasi Material Transfer Agreement (MTA) untuk spesimen virus avian influenza (flu burung).

Syahril mengatakan, Indonesia juga mendorong pembentukan instrumen One Health untuk mengatur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara komprehensif yang dapat dilaksanakan negara berkembang dengan dukungan negara maju.

Baca juga: Kemenkes beri rekomendasi terbaik pemberian ASI untuk nutrisi bayi

Kemudian, katanya, mendukung transfer teknologi yang berkeadilan untuk kebutuhan kesehatan masyarakat, yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dan negara berkembang lainnya untuk menjadi hub dalam membangun kapasitas manufaktur lokal guna menciptakan kemandirian dalam produksi vaksin, terapi, dan diagnostik (VTD).

Mengenai perizinan, Indonesia mendorong perizinan yang bersifat transparan dan non-eksklusif, khususnya saat pandemi. Selain itu, Indonesia mendorong upaya untuk memastikan agar teknologi dan inovasi dapat diakses oleh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang.

Adapun untuk pendanaan, Indonesia mendukung pentingnya pendanaan yang setara dan dapat diakses oleh seluruh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang, untuk implementasi Pandemic Treaty. Menurutnya, pendanaan dapat dilakukan melalui mekanisme pembiayaan yang telah ada seperti Pandemic Fund dengan sedikit penyesuaian sesuai dengan konteks Pandemic Treaty.

Syahril mengatakan bahwa Indonesia akan mengupayakan agar negosiasi Pandemic Treaty selesai secepatnya, serta senantiasa memperjuangkan kesetaraan akses untuk mendorong transfer pengetahuan dan teknologi antar negara sehingga dapat membangun kapasitas industri farmasi dengan prinsip dasar yang menjamin kesetaraan antara negara maju dan berkembang.

Baca juga: WHO denda Rp500 juta untuk pengobatan alternatif seperti bekam, pijat obat herbal, benarkah?
 

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Triono Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2024