Jakarta (ANTARA) - Lembaga Sensor Film (LSF) periode 2020-2024 telah menyosialisasikan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GN BSM) ke 23 lokasi sepanjang 2023, dengan target audiens sekitar 5.000 orang tergabung dalam komunitas Sahabat Sensor Mandiri.

Adapun 23 lokasi pelaksanaan sosialisasi yakni Palu, Mamuju, Bandung, Labuan Bajo, Surabaya, Merauke, Batusangkar, Samarinda, Ternate, Yogyakarta, Banda Aceh, Kebumen, Ambon, Medan, Badung, Banjarmasin, Batam, Jakarta (dua lokasi), Depok, Tangerang, Lebak, dan Surakarta.

"Semua itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas literasi menonton masyarakat. Karena sudah kami hitung, masih ada 26 persen masyarakat yang beranggapan bahwa film yang dinikmati itu adalah bagian dari kenyataan, bagian dari faktual, sehingga masih ada yang percaya film sebesar 26 persen," kata Ketua Komisi III LSF Bidang Sosialisasi dan Hubungan Antarlembaga Naswardi pada sesi konferensi pers di kawasan Senayan, Jakarta, Senin.

Naswardi mengatakan 25 persen masyarakat belum mempunyai kesadaran tentang klasifikasi usia di dalam menonton film. Maka dalam sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri, pihaknya mengajak masyarakat untuk secara bijak, memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi atau penggolongan usia.

Masyarakat yang sudah meningkat literasi menontonnya diharapkan mampu lebih selektif menyeleksi informasi "yang berpotensi dianggap kenyataan oleh anak" di dalam film.

Baca juga: LSF berencana ciptakan AI untuk kontrol tontonan anak
 
Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GN BSM) merupakan bagian dari program prioritas nasional.

Salah satu bentuk edukasi kepada masyarakat adalah tentang pentingnya melakukan sensor mandiri, baik untuk kepentingan pribadi maupun, dan terutama, untuk keluarga.
 
LSF menetapkan klasifikasi usia penonton melalui penerbitan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS), untuk setiap tontonan yang ditayangkan baik di bioskop, televisi, maupun jaringan teknologi informatika.

Penggolongan usia penonton terdiri atas film untuk semua umur (SU), film untuk penonton usia 13 tahun atau lebih (13+), film untuk penonton usia 17 tahun atau lebih (17+) dan film untuk penonton usia 21 tahun atau lebih (21+).
Lembaga Sensor Film terus berupaya menjalankan sosialisasi dengan inovatif, salah satunya melalui pelibatan komunitas Sahabat Sensor Mandiri sebagai audiens.
 
Agar dalam sosialisasi itu, audiens tidak hanya menjadi pendengar, tapi juga mampu terlibat sebagai agen penyampai informasi berikutnya mengenai klasifikasi usia penonton kepada masyarakat di lingkungan masing-masing.​​​​​​​

LSF mencanangkan tujuh desa sensor mandiri di tujuh lokasi yaitu Desa Ambar Ketawang di Sleman (Yogyakarta), Kabupaten Klungkung (Bali), Desa Glanggang di Kabupaten Malang (Jawa Timur), Desa Karang di Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah), Desa Tigaherang di Kabupaten Ciamis (Jawa Barat), Kelurahan Winongo di Kota Madiun (Jawa Timur), dan Desa Candirejo di Kabupaten Klaten (Jawa Tengah).

LSF juga melaksanakan penguatan dengan kerja sama lintas kementerian/lembaga dan lintas sektor, dari perguruan tinggi, komunitas, rumah produksi, industri layar bioskop dan jaringan teknologi informatika (over the top/OTT) dan juga regulator perfilman dari luar negeri seperti Lembaga Penapis Film (LPF) Malaysia dan regulator platform digital Prancis Arcom.

Baca juga: LSF anjurkan orang tua gunakan fitur kontrol tontonan anak

Tantangan

Sensor dalam menonton sesuai penggolongan usia menjadi penting sebagai upaya menghindarkan kelompok rentan khususnya anak-anak, dari paparan konten atau materi film yang bermuatan sensitif, yang berdampak tidak baik terhadap psikologi perkembangan anak.
 
Namun, survei LSF pada 2023 yang dilaksanakan di Kota Malang, Pontianak, dan Cirebon melalui pengisian angket, menunjukkan bahwa hanya 60 persen yang setuju dengan keharusan menonton sesuai klasifikasi usia, sedangkan 40 persen lagi menyatakan tidak setuju.
 
Tiga persen responden menyatakan penggolongan penonton atas film yang ditayangkan belum sesuai, namun 97 persen lagi menyatakan sudah sesuai.

"Padahal namanya film, di situ tentu ada dramatisasi ide cerita dan kaidah sinematografi yang dibuat untuk hiburan dan lain-lain. Sehingga kita perlu terus berupaya untuk meningkatkan kualitas literasi menonton masyarakat," kata Naswardi.
 
Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia, sejak April 2021 telah menampilkan rubrik Panduan Film (PF) di semua platform media sosial yang tersedia.

Mulai dari web: https://lsf.go.id, instagram (IG): @lsf_ri, facebook (FB): fb.com/lembagasensor.RI, twitter: @lsf_ri, dan TikTok: @lsf_ri, PF juga dicetak dalam bentuk buku saku dan diedarkan di sejumlah bioskop, melalui kerja sama dengan Gabungan Perusahaan Film Seluruh Indonesia (GPBSI), serta dalam bentuk e-Book yang dimuat di laman lsf.go.id.
Sebagaimana judulnya, PF dimaksudkan sebagai panduan bagi masyarakat dalam menonton film yang sudah, akan, dan / atau sedang dipertunjukkan sesuai peruntukannya. Baik di bioskop, televisi, festival, palwa, maupun di jaringan informatika.
 
Terutama, untuk film-film yang telah atau baru mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari LSF.

Baca juga: Lembaga sensor akan ubah batas usia penonton film dewasa, bukan 17 tahun lagi
 
Setiap judul yang dibahas secara singkat di dalam PF, baik film nasional maupun film impor, selalu menampilkan informasi dasar mengenai klasifikasi usia, kandungan film, tema, genre, jalan cerita, para pemain, sineas, produser, tanggal rilis, durasi, tahun produksi, negara pembuatnya.
 
Terutama unsur-unsur yang terkandung di dalam film tersebut. Mulai dari kekerasan, perjudian, sadisme, narkoba, seksualitas, pendidikan, budaya, informasi, sampai hiburan.

Kandungan film tersebut dinyatakan dalam bentuk keterangan atau ikon dan simbol tertentu. Namun, yang lebih penting, PF selalu mencantumkan penggolongan / klasifikasi usia penonton untuk setiap film yang dibahas. Mulai dari semua umur (SU), 13 tahun ke atas (13+), 17 tahun ke atas (17+), sampai 21 tahun ke atas (21+).
Publikasi PF tersebut, dilakukan sejalan dengan tugas pokok dan fungsi LSF sesuai Undang-Undang tentang Perfilman Nomor 33 Tahun 2009, Pasal 57 Ayat (3), yakni, “memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film”.

Juga sebagai pelaksanaan Pasal 61 Ayat (1), “LSF memasyarakatkan penggolongan usia penonton film dan kriteria sensor film; dan Ayat (2) “LSF membantu masyarakat agar dapat memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film”.

Baca juga: Sebagian besar pengaduan ke LSF soal konten film
Sejak April 2021 sampai dengan Desember 2023, PF mengutamakan informasi tentang film-film layar lebar (feature film) atau film cerita yang sudah mendapatkan STLS dan ditayangkan terutama di bioskop, ditambah sejumlah film yang tayang di televisi, festival, serta jaringan teknologi informatika (OTT).
 
Termasuk film-film klasik yang dinilai cukup berpengaruh dan yang akan / sedang tayang di berbagai media pertunjukan.
Proses penulisan PF pada tahap awal dilakukan oleh 34 Tenaga Sensor (TS), untuk kemudian disunting oleh anggota LSF Noorca M. Massardi yang ditugaskan untuk menyeleksi, menjaga, dan mengelola Panduan Film tersebut.

Melanjutkan proses dan progres sebelumnya, pada Januari 2023 sampai dengan Desember 2023, PF telah menampilkan sebanyak 327 judul film.
 
Tercatat, ada 116 judul film nasional, jumlah yang cukup meningkat dibanding tahun sebelumnya (56 judul), dan 211 judul film impor, bertambah signifikan dibanding tahun sebelumnya (97 judul). Ini menjadi suatu penanda bagi bangkit kembalinya industri film dunia, termasuk Indonesia, pasca pandemi COVID-19.

Baca juga: LSF luncurkan akun WA Business untuk akses informasi terbuka publik

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Siti Zulaikha
COPYRIGHT © ANTARA 2024