Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyampaikan bahwa saat silaturahim kebangsaan pimpinan MPR RI dengan Ketua MPR RI 2013-2014 yang kini menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto di Jakarta, Selasa, membahas soal alternatif sistem pemilu campuran.

"Sistem pemilu campuran juga pernah saya tawarkan pada saat menjabat Ketua DPR RI 2018-2019. Mengkombinasikan pemilihan langsung dengan pemilihan proporsional. Beberapa negara sudah menggunakan, seperti di Jerman. Pemilih bisa tetap memilih calon legislatif secara langsung, namun partai politik juga punya peran besar dan juga dapat mengajukan kader terbaiknya duduk di parlemen," ujar Bamsoet, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta.

Dia menuturkan bahwa Sidarto mengungkapkan bahwa pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi berbagai persoalan bangsa yang sangat pelik, misalnya, terkait menyelamatkan masa depan demokrasi Pancasila yang berhadapan dengan demokrasi kapitalisme, sehingga sistem pemilu campuran dapat menjadi salah satu solusi.

"Indonesia bisa menggunakan sistem pemilu campuran untuk pileg, serta pemilihan tidak langsung untuk pilkada. Misalnya, tiga partai politik yang memenangi pileg di daerah tersebut bisa mengajukan calon kepala daerah untuk kemudian dipilih melalui DPRD,” ucapnya.

Sebab, kata dia, telah terjadi kapitalisme politik karena demokrasi yang ada jauh dari nilai proklamasi dan reformasi sehingga kerap kali calon yang ingin maju dalam pemilihan juga harus memiliki "isi tas", di samping memiliki kualitas dan integritas.

Baca juga: Ketua Komisi II DPR: Kita harus evaluasi sistem pemilu

Baca juga: Mendagri sepakat sistem Pemilu perlu dikaji ulang

Baca juga: Indikator: Masyarakat RI nilai demokrasi sistem terbaik pemerintahan


"Demokrasi Pancasila yang sesuai sila ke-4 Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, kini malah berubah menjadi demokrasi NPWP 'Nomor Piro Wani Piro'," ujarnya.

Kondisi tersebut, lanjut dia, berbeda dengan di Amerika Serikat yang tidak mengenal fenomena politik uang, sebab pendidikan dan pendapatan masyarakatnya sudah tinggi.

"Justru para calon yang dibiayai publik, seperti Barack Obama yang sukses menjadi presiden dengan dibiayai publik. Begitupun dengan sosok Claudia Sheinbaum, yang baru saja menjadi perempuan pertama yang terpilih menjadi Presiden Ekuador," tuturnya.

Dia menuturkan bahwa Sidarto juga menekankan pentingnya mengkaji kembali keberadaan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di mana, dengan adanya ketentuan "efisiensi berkeadilan" yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 4, dianggap telah mengubah konsep negara kesejahteraan (welfare state) menjadi liberalisasi sistem ekonomi.

Dia memandang kegiatan ekonomi menjadi bisa dikendalikan oleh mekanisme pasar yang cenderung menciptakan penguasaan terhadap potensi ekonomi hanya pada segelintir orang/kelompok saja sehingga kemudian berkembang menjadi ekonomi liberal dengan munculnya praktik-praktik oligopoli, bahkan monopoli.

"Tidak heran jika keran impor terhadap berbagai kebutuhan pokok terbuka lebar. Peran asing dalam pengelolaan kekayaan sumber daya alam berupa minyak, gas, dan mineral lain yang terkandung di dalamnya, juga menjadi terbuka lebar. Perlahan peran negara menjadi hilang," kata dia.

Pada kesempatan tersebut turut hadir para Wakil Ketua MPR lainnya, yaitu Ahmad Basarah. Hidayat Nur Wahid, dan Fadel Muhammad.

Sebelumnya, pimpinan MPR telah melakukan silaturahmi kebangsaan dengan bertemu Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Wakil Presiden Ke-6 RI Try Sutrisno, Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla, dan Wakil Presiden Ke-11 RI Boediono.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2024