Denpasar (ANTARA) - Suara jejak kaki melangkah terdengar nyaring. Pengunjung ramai mengiringi perjalanan ke salah satu pintu masuk di jejeran rumah adat Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali. Pintu masuk itu terdapat petunjuk lokasi  “karang memadu”.

“Karang memadu” merupakan sebutan bagi sebuah lahan kosong yang terletak di selatan Desa Adat Penglipuran. Tempat ini dibuat khusus ditujukan bagi mereka yang kena sanksi adat “kesepekan” atau dikucilkan secara sosial karena memiliki lebih dari satu istri alias berpoligami.

Memasuki pintu menuju tempat karang memadu secara perlahan, di dalamnya terlihat asri dengan bunga-bunga indah tertata rapi. Plang kayu berwarna coklat mengkilap bertuliskan Pondok Coffe berdiri tegak di sebelah kiri. Lingkungan ini terawat dan sangat asri.

Kelian Adat Desa Penglipuran, Wayan Budiarta menjelaskan bahwa kawasan karang memadu yang awalnya merupakan tanah gersang tak berpenghuni, kini dirombak menjadi taman asri bernuansakan kebun bunga dan tanaman hias.

Berjalan lebih jauh ke dalam taman ini, ada tempat pengolahan pupuk organik dan warung kopi bagi para wisatawan yang tertarik untuk berkunjung.

Karang memadu merupakan warisan sejak awal Desa Adat Penglipuran berdiri. Dulu para leluhur Desa Adat Penglipuran sudah melarang poligami bagi masyarakat setempat. Kesepekan merupakan bentuk konsekuensi atau hukuman karena “memadu” atau poligami.  Poligami merupakan suatu larangan yang ada di Desa Adat Penglipuran.

Sembari berkeliling area parahyangan hingga di area karang memadu, Kelian Adat Desa Penglipuran menjelaskan bahwa area karang memadu bukan beralih fungsi menjadi tempat untuk menikmati kopi. Tempat yang telah dibangun menjadi taman dan lahan kosong asri ini nantinya akan tetap khusus ditujukan bagi mereka yang kena kesepekan (dikucilkan secara sosial). Mereka yang menempati karang memadu akan tetap mendiami tempat itu sampai mereka berani mengakhiri poligaminya.

Sanksi adat karang memadu ini pun dilestarikan secara turun temurun, melalui pembelajaran “pasraman” atau lembaga pendidikan khusus Agama Hindu yang ada di Desa Adat Penglipuran. Selain pasraman juga melalui paruman-paruman  atau lembaga pengambil keputusan tertinggi di desa adat serta pembelajaran sejak dini di dalam keluarga masing-masing.

Perwakilan Pengadilan Agama Negeri Bangli, Nengah Sadar, menjelaskan bahwa pihak Pengadilan Agama Negeri Bangli sudah mengetahui adanya sanksi adat "kesepekan" karang memadu di Desa Adat Penglipuran. Namun begitu,  Pengadilan Agama tidak mencampuri sanksi adat  tersebut, karena desa adat memiliki otoritas tersendiri untuk memberikan sanksi bagi warganya di Desa Adat Penglipuran.

Penerapan sanksi “kesepekan” 

Kelian Adat Desa Penglipuran kembali menjelaskan bahwa penerapan sanksi adat "kesepekan" karang memadu di Desa Adat Penglipuran  melalui tahapan cukup panjang. Proses itu mulai dari pemanggilan pihak yang melakukan poligami untuk melakukan mediasi. Kemudian, pembuatan gubug untuk pelaku poligami, sampai proses yang terakhir yaitu penempatan keluarga yang melakukan tindakan poligami di area karang memadu.

Sanksi adat di karang memadu harus dijalani oleh pelaku poligami setelah ada sejumlah proses. Jika pelaku poligami tetap kukuh mempertahankan kemauannya dan tetap melakukan tindakan poligami tanpa mau untuk menceraikan salah satu istrinya, maka  sanksi adat di karang memadu ini bisa diproses dengan  pembuatan gubug atau “rumah khusus” bagi pelaku poligami dan keluarganya.

Proses berikutnya, penempatan keluarga yang berpoligami di gubug yang sudah dibuatkan oleh warga di sebuah lahan yang bernama “karang memadu” tersebut. Karang atau lahan kosong dengan tembok yang cukup tinggi, jauh dari akses kehidupan masyarakat adat dan memiliki luas 9 x 21 meter.

Proses pengambilan keputusan dari sanksi adat tidak terlepas dari adanya musyawarah melalui paruman atau diskusi seluruh krama desa adat Penglipuran bersama dengan pihak-pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah prajuru desa adat dan masyarakat, dengan tetap berpedoman pada awig-awig (hukum adat) yang telah disepakati bersama.

Mereka yang berpoligami, nantinya selain dikenakan sanksi secara sosial, dikucilkan masyarakat adat, istri keduanya tidak akan diupacarai secara adat, atau menikah tidak sah secara adat. Anak mereka yang dilahirkan dari poligami, juga tidak akan diupacarai secara adat, dan dianggap leteh (kotor) oleh masyarakat.

Bagi mereka yang tinggal di karang memadu tidak diperkenankan untuk melewati batas areal suci yang ada di Desa Penglipuran, termasuk catus pata (pusat wilayah yang disucikan). Mereka tidak boleh menginjakkan kaki di tempat-tempat ibadah, tidak boleh bersosialisasi dengan warga lain, dikucilkan (kasepekan) oleh masyarakat, dan tidak diperkenankan untuk ikut upacara adat di Desa Penglipuran. Di depan pintu masuk karang memadu terpampang tulisan bahwa itu tempat hukuman bagi mereka yang melanggar awig-awig.

Salah satu warga Desa Adat Penglipuran, yang rumahnya di belakang rumah adat,  Desak Made Ayu Ariani, salah satu warga Desa Adat  mengatakan bahwa sanksi ini sangat penting diterapkan untuk mengantisipasi  adanya perkawinan poligami yang dapat merugikan dan menghancurkan keharmonisan keluarga,  utamanya pihak perempuan.

Sanksi adat di karang memadu sampai saat ini belum pernah mengalami perubahan meski perkembangan teknologi informasi terus berkembang pesat. Kendati begitu,  sampai saat ini belum pernah ada laporan adanya kasus poligami dan penerapan sanksi adat di karang memadu.

Keberadaan karang memadu bukan hanya masalah penegakan hukum  adat  di Desa Adat Penglipuran, namun juga menjadi  hal penting dalam penegakan keadilan dan kesamarataan antara laki-laki dan perempuan. Sanksi adat di karang memadu telah hidup bersama dengan masyarakat di Desa Adat Penglipuran yang  kini banyak dikunjungi wisatawan karena memiliki arsitektur indah dan bersih.

 

Kelian Adat Desa Penglipuran, Wayan Budiarta menjawab pertanyaan soal sanksi adat Karang Memadu di Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali. ANTARA/Kadek Ernia Juliandani/wsj.
 

Pewarta: Luh Putu Anggreny/Widodo S Jusuf
Editor: Slamet Hadi Purnomo
COPYRIGHT © ANTARA 2024