Yogyakarta (ANTARA News) - Seorang pengamat masalah pertanian di Yogyakarta menyatakan tidak masuk akal jika alasan pemerintah mengimpor beras karena harga beras di pasaran sudah melebihi harga pembelian pemerintah (HPP) 2005 sebesar Rp3.550 per kilogram (kg). "Inpres Nomor 13/2005 yang menetapkan HPP Rp3.550 tidak dapat dijadikan alasan pemerintah untuk memaksakan impor beras hanya karena harga sudah tidak proporsional lagi," kata Dr Mochammad Maksum, Minggu. Menurut dia, saat ini harga gabah kering giling mencapai harga efektif Rp2.280 atau gabah panen Rp1.730 per kg, sehingga tak mungkin mendapatkan harga beras Rp3.550, karena sekurang-kurangnya satu kilogram beras memerlukan bahan baku antara Rp3.600 sampai Rp3.800. Pengadaan beras melalui impor ini mengada-ada dan merupakan keputusan yang sangat sembrono serta menyakitkan hati rakyat. "Dampak impor itu bukan main, baru berita saja sudah menghawatirkan petani, belum lagi kalau menjadi kenyataan. Meski beras itu nanti diberikan atau dijual kepada masyarakat, tetap akan berpengaruh terhadap pasar," katanya. Ia menilai kelemahan dari Inpres Nomor 13/2005 adalah inpres ditetapkan awal Oktober 2005, padahal sekarang sudah terjadi kenaikan harga BBM dan kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya terutama pupuk yang oleh pemerintah ditetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi naik 10-15 persen. "Ini kan berarti biaya produksi juga ikut naik, kalau harga HPP tetap sebesar itu, sedangkan dari beberapa kenaikan harga dan HET pupuk juga naik, maka sangat tidak mungkin untuk mendapatkan harga sesuai HPP," katanya. Maksum menegaskan, mahalnya harga beras bukan karena kelangkaan beras. Saat ini banyak daerah masih surplus, tetapi yang menjadi persoalan adalah kinerja Bulog yang harus dievaluasi dalam menetapkan status "emergency" stok beras. "Emergency stok beras dapat diramalkan termasuk untuk cadangan pangan dan bantuan bencana meskipun tidak selalu tepat. Tetapi dengan langkah ini tidak akan merusak pasar beras lokal," kata dia. HPP idealnya Rp4.000 per kg, harga boleh naik sampai 20 persen, jika tidak panen bisa Rp4.800. Ini adalah harga kesejahteraan petani. Kalau sekarang HPP Rp3.550, jelas tidak mungkin dipenuhi petani. Kalkukalsi politis, kata Maksum, masyarakat miskin mencapai 17 persen. Mayoritasnya adalah petani termasuk di dalamnya petani prosuden. Kalau harga dipaksa rendah, sama saja membuat mereka lebih miskin lagi. "Kalau dalihnya untuk mengantisipasi fakir miskin, untuk mengamankan inflasi, kenapa bukan dosen atau pejabat pemerintah yang dikurangi pendapatannya. Kenapa harus fakir miskin dan petani dikorbankan untuk mengendalikan inflasi dan pengendalian ketahanan pangan. Ini tidak masuk akal," katanya. Dalam rapat bupati dengan Menteri Pertanian dan Menko Kesra beberapa waktu lalu, mayoritas kepala daerah mengatakan di wilayahnya surplus kecuali Aceh dan Riau Kepulauan yang defisit. "Publik tahu persis kita surplus, kalau ada gejolak pasti karena manajemen surplus yang tidak tepat. Kinerja Bulog harus dirombak, alasan impor jangan mengada-ada," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006