Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) meminta dukungan negara-negara anggota International Maritime Organization (IMO) untuk menjadikan Selat Lombok sebagai wilayah laut yang sensitif atau particularly sensitive sea area (PSSA).

“Kami berharap bisa mendapatkan dukungan, masukan dan pandangan dari negara-negara anggota IMO serta negara tetangga yang memiliki kepentingan di Selat Lombok,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Lollan Panjaitan dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

Lollan menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan tengah mengusulkan penetapan Selat Lombok, yang diapit oleh kawasan konservasi yaitu Pulau Nusa Penida dan Gili Matra, sebagai wilayah laut yang sangat sensitif atau particularly sensitive sea area (PSSA).

Dia mengatakan, hal itu sebagai wujud peran aktif dan komitmen Indonesia dalam perlindungan lingkungan maritim.

“Usulan penetapan ini rencananya  disubmit pada Sidang International Maritime Organization (IMO)-Marine Environmental Protection Committee (MEPC) ke-82 pada tanggal 30 September sampai dengan 4 Oktober 2024,” jelas Lollan.

Ia menekankan pentingnya penetapan Selat Lombok sebagai PSSA sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia untuk berperan aktif dalam perlindungan lingkungan maritim sebagai negara anggota IMO sekaligus Anggota Dewan IMO periode 2024-2025.

Upaya pengusulan Selat Lombok sebagai PSSA ini, menurutnya, telah dimulai sejak tahun 2016 melalui proposal yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia pada the Third Regional Meeting of IMO-NORAD Project on Prevention of pollution from ships through the adoption of PSSAs di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Upaya tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengajuan Information Paper dalam Sidang IMO-Marine Environmental Protection Committee (MEPC) ke-71 pada tahun 2017.

Baca juga: Kemenhub pastikan kualitas layanan bagi berkebutuhan khusus di Bandara

Baca juga: Kemenhub tekankan keakuratan alat penimbangan kendaraan bermotor


“Selat Lombok diusulkan sebagai PSSA karena lokasinya yang strategis, sekaligus fakta bahwa kawasan tersebut merupakan rumah bagi lebih dari 2000 spesies binatang laut, termasuk enam dari tujuh spesies penyu laut yang dilindungi di dunia,” jelasnya.

Lollan optimis penetapan PSSA Selat Lombok dapat menjadi Pilot Project bagi penetapan kawasan-kawasan konservasi potensial lainnya di Indonesia.

Hal ini, menurutnya, sesuai dengan Resolusi A.982(24) IMO mengenai Revised guidelines for the identification and designation of Particularly Sensitive Sea Areas, yang menjadi dasar penetapan berbagai PSSA di dunia, serta sejalan dengan komitmen Indonesia dalam hal perlindungan lingkungan maritim.

Menurutnya, penetapan PSSA oleh IMO dapat menjadi sebuah mekanisme yang dapat digunakan oleh negara-negara pantai untuk melindungi wilayah laut yang dianggap rentan terhadap dampak negatif aktivitas pelayaran internasional.

“Saya berharap upaya yang dilakukan ini dapat semakin menunjukkan keseriusan Indonesia terhadap perlindungan lingkungan laut serta pemenuhan terhadap berbagai konvensi dan instrumen IMO, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional,” jelas Lollan.

Ia menambahkan untuk finalisasi dokumen Submisi Selat Lombok sebagai PSSA, Kemenhub telah menyelenggarakan FGD secara Nasional pada bulan Mei. Kemudian, pihaknya melanjutkan FGD Internasional Persiapan Submisi Dokumen PSSA Selat Lombok yang digelar di Bali, Selasa (4/6).

FGD Internasional itu mengundang perwakilan negara-negara anggota IMO di Jakarta, dan negara-negara maritim lain yang memiliki kepentingan di Selat Lombok seperti Jepang, China, Australia, Filipina, Papua Nugini, serta Timor Timur, serta kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan terkait.

“Kami juga berharap bisa mendapatkan masukan teknis dari para ahli untuk mempersiapkan asesmen yang akan dilakukan oleh IMO,” terang Lollan.

Pada FGD Internasional ini, Lollan menjelaskan, pihaknya menghadirkan tiga ahli terkait PSSA. Yang pertama adalah Edward Kleverlaan yang pernah menjabat sebagai Kepala Kantor London Convention dan Protokol di IMO, Ketua Tim Konservasi Kawasan KKP Amerh Hakim, serta peneliti dari Institut Teknologi Surabaya (ITS).

PSSA adalah wilayah laut yang sangat sensitif sehingga membutuhkan perlindungan khusus melalui regulasi atau tindakan dari IMO karena memiliki kondisi ekologi, sosial-ekonomi, ataupun alasan saintifik yang dapat dengan mudah mengalami kerusakan oleh aktivitas pelayaran internasional.

Usulan penetapan PSSA Selat Lombok pertama kali dilakukan melalui Proposal Penetapan PSSA Selat Lombok IMO dan Norwegian Agency for Development (NORAD) Project (2014-2017), di mana dalam Project ini terdapat empat negara yang mengajukan untuk menetapkan salah satu kawasan lautnya sebagai PSSAs, yaitu Filipina, Malaysia, Vietnam dan Indonesia.

Indonesia mengusulkan penetapan PSSA Selat Lombok, khususnya Kepulauan Gili dan Pulau Nusa Penida pada the 3rd Regional Meeting of IMO-NORAD Project on Prevention of pollution from ships through the adoption of Particularly Sensitive Sea Areas (PSSAs) within the East Asian Seas Region, yang diselenggarakan di Lombok pada bulan Juli 2016.

Indonesia mempertegas mengusulkan PSSA Selat Lombok dalam bentuk Information Paper melalui dokumen MEPC 71/INF.39 pada Sidang Marine Environment Protection Committee (MEPC) ke-71 pada tahun 2017.

Saat ini, Indonesia telah mempersiapkan dokumen submisi penetapan PSSA Selat Lombok sesuai dengan IMO Guidelines, namun perlu penguatan proposal khususnya terkait bagian atribusi untuk lebih meyakinkan urgensi penetapan Selat Lombok sebagai PSSA.

Baca juga: Kemenhub terbitkan surat edaran perizinan usaha keagenan awak kapal

Baca juga: Kemenhub-delegasi USCG bahas pelatihan dan kerja sama teknologi


Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Agus Salim
COPYRIGHT © ANTARA 2024