Jakarta (ANTARA) - United Nations Population Fund (UNFPA) atau Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa sebuah badan PBB yang terlibat dalam upaya peningkatan kesehatan reproduksi dan ibu di seluruh dunia, memaparkan tiga hal kunci untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia.

“Untuk menurunkan angka kematian ibu sangat mudah, saya bilang itu sangat mudah karena ini bukan rocket science (ilmu tingkat tinggi), hanya perlu tiga intervensi yang mudah dan sederhana, dan tidak memerlukan pembiayaan yang terlalu besar,” kata Representatif UNFPA untuk Indonesia Hassan Mohtashami di Jakarta, Kamis.

Hassan menyampaikan hal tersebut dalam diskusi tentang perencanaan dan penganggaran terintegrasi kesehatan reproduksi untuk percepatan AKI diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri bersama Kemenkes, BKKBN, UNFPA, Bappenas, dan Pemerintah Kabupaten Serang, Banten.

Tiga intervensi tersebut, yang pertama yakni penggunaan kontrasepsi atau KB karena dapat mengurangi satu dari tiga angka kematian ibu.

“Dengan keluarga berencana saja dapat menurunkan 1/3 Angka Kematian Ibu. Mengapa? Ini adalah teori matematis dan perumpamaan matematika yang sangat sederhana, karena semakin sedikit jumlah kehamilan, semakin kecil kemungkinan meninggal karena pendarahan,” ujar dia.

Namun, ia menyoroti bahwa masih ada kesenjangan atau gap terkait kebutuhan kontrasepsi atau KB di berbagai wilayah Indonesia, di mana satu daerah bisa berbeda partisipasi ber-KB dengan wilayah lainnya, sehingga membutuhkan perhatian untuk pemerataan KB.
Baca juga: BKKBN: Program KB dan Kespro upaya turunkan kematian ibu
Baca juga: BKKBN: Atur jarak melahirkan bantu ibu beri ASI maksimal pada bayi


Ia melanjutkan, cara kedua untuk menurunkan angka kematian ibu adalah melalui peningkatan kualitas bidan dan tenaga kesehatan.

“Mengapa bidan? Karena sebagian besar kematian ibu hamil terjadi saat menjelang persalinan, entah itu akibat pendarahan atau lainnya, untuk itu kita perlu memiliki bidan yang terampil, karena dengan bidan, maka angka kematian ibu bisa diturunkan, bahkan hingga nol suatu hari nanti,” ucapnya.

Ia mengemukakan, sumber daya bidan di Indonesia jumlahnya cukup banyak, dengan program-program pendidikan bidan yang juga melimpah. Namun, ia menekankan, bidan tidak bisa dilatih hanya dengan teori-teori di kelas, tetapi perlu melalui praktik yang komprehensif di lapangan.

“Tidak ada kekurangan bidan di Indonesia, ada 400.000 lebih bidan di negara ini, dengan lebih dari 1.000 program pendidikan kebidanan di universitas. Mereka harus terampil dan tahu cara menghadapi keadaan darurat, mereka juga harus tahu cara mengatasi pendarahan, bagaimana menghadapi posisi bayi, dan lain sebagainya. Jika bidan tidak terampil, bisa membahayakan ibu, untuk itu penting meningkatkan kualitas bidan dan pendidikan kebidanan,” paparnya.

Selanjutnya, intervensi yang ketiga yakni layanan kebidanan darurat yang perlu disediakan secara merata di seluruh Indonesia.

“Penting untuk memastikan bahwa unit perawatan obstetri (cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan kelahiran bayi) memiliki fasilitas dokter yang tepat, peralatan yang tepat, dan barang-barang yang tepat, sehingga mereka dapat menjangkau dan membantu ibu ketika melakukan intervensi saat ibu melakukan persalinan. Sekali lagi, saya tekankan ini mudah, bukan ilmu roket,” tuturnya.

Sebagai informasi, saat ini angka kematian ibu di Indonesia berdasarkan data Kementerian Kesehatan yakni 305 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan target yang ditetapkan di tahun 2024 yakni yaitu 183 per 100.000 kelahiran hidup.
Baca juga: POGI: Kematian ibu di Indonesia jauh lebih kompleks dari negara lain
Baca juga: Angka Kematian Ibu di Indonesia Tertinggi di ASEAN

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Muhammad Yusuf
COPYRIGHT © ANTARA 2024