Brussel (ANTARA) - Pemilihan umum (pemilu) legislatif Parlemen Eropa (European Parliament/EP), yang akan digelar Kamis-Minggu (6-9 Juni), akan menjadi momen penting bagi Uni Eropa (UE) karena menentukan kebijakan blok tersebut di masa depan di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan sejumlah masalah ekonomi internal.

Dalam pemilu EP pertama pasca-Brexit tersebut, para pemilih dari 27 negara anggota akan memilih 720 anggota untuk EP periode ke-10, yang merupakan satu-satunya institusi yang dipilih secara langsung di UE.

Sebagai badan legislatif utama, EP memiliki tanggung jawab yang signifikan. Tanggung jawab tersebut termasuk wewenang untuk menyetujui atau menolak penunjukan presiden Komisi Eropa (European Commission/EC) dan para komisaris, menyetujui rencana anggaran, serta memberikan suara untuk perjanjian internasional dan perluasan blok tersebut.

Kebangkitan Sayap Kanan

Parlemen tersebut dipimpin mayoritas partai-partai sentris yang kuat dalam "koalisi super besar" yang berkuasa, yang terdiri dari Partai Rakyat Eropa (European People's Party/EPP), Aliansi Progresif dari Sosialis dan Demokrat (Progressive Alliance of Socialists and Democrats/S&D), dan Renew Europe (RE).

Namun, proyeksi jajak pendapat dari berbagai sumber, termasuk Europe Elects, mengindikasikan peningkatan sentimen populis sayap kanan di seluruh Eropa. Partai Konservatif dan Reformis Eropa (European Conservatives and Reformists/ECR) serta partai sayap kanan Identitas dan Demokrasi (Identity and Democracy Group) diprediksi akan mengalami peningkatan yang signifikan.

Pergeseran ke haluan kanan itu mencerminkan tren lebih luas yang terlihat dalam pemilu nasional baru-baru ini di seluruh Eropa. Partai-partai kanan di sejumlah negara seperti Italia, Finlandia, dan Swedia menorehkan kemenangan besar.

Mengomentari hasil survei tersebut, Presiden EP yang akan berakhir masa jabatannya, Roberta Metsola mengatakan bahwa masyarakat Eropa sadar ada pertaruhan yang sangat besar di kotak suara, dan pemungutan suara menjadi semakin penting dalam konteks geopolitik saat ini.

Menurut proyeksi dari wadah pemikir internasional European Council on Foreign Relations (ECFR) hampir separuh kursi dalam EP edisi selanjutnya akan diduduki oleh anggota parlemen di luar "koalisi super besar".

ECFR menyebutkan bahwa sebuah koalisi yang terdiri dari partai-partai politik yang berhaluan kanan, termasuk di antaranya demokrat Kristen, konservatif, dan anggota sayap kanan radikal, bisa saja memperoleh suara mayoritas di parlemen itu untuk pertama kalinya.

Meskipun demikian, koalisi pro-Eropa tradisional diperkirakan akan mempertahankan suara mayoritas di parlemen tersebut. EPP yang berhaluan tengah-kanan diperkirakan akan tetap menjadi fraksi terbesar, walaupun akan kehilangan beberapa kursi. Fraksi S&D dan RE juga diprediksi akan tetap memiliki pengaruh yang signifikan, dan berpotensi membentuk koalisi untuk mengimbangi kebangkitan partai-partai sayap kanan.

Namun, Pusat Kebijakan Eropa atau European Policy Center (EPC) menyatakan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan, institusi-institusi UE, urusan sosial, pertanian, dan hubungan eksternal dapat dipengaruhi oleh pendekatan kebijakan partai-partai sayap kanan.

Berbagai Tantangan Dorong Minat Memilih yang Tinggi

Survei Eurobarometer EP Musim Semi 2024 menunjukkan minat publik yang kuat terhadap pemilu mendatang, dengan 60 persen responden menyatakan minat yang signifikan, naik dari 49 persen pada pemilu 2019.

Menurut survei tersebut, sejumlah kekhawatiran utama mencakup konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina yang sedang berlangsung, dengan 81 persen responden mengatakan bahwa isu-isu ini membuat pemilu tersebut menjadi lebih krusial. Selain itu, kemiskinan, kesehatan, lapangan kerja, dan pertahanan juga menjadi agenda utama para pemilih.

"Para politisi arus utama tampak kewalahan karena "sebagian besar tantangan masa lalu masih belum terselesaikan dan sejumlah kekuatan baru yang berpengaruh tampaknya terus berkembang," ujar para analis dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh EPC.

Laporan tersebut menyoroti meningkatnya kekecewaan publik terhadap pendirian politik, yang mengakibatkan partai-partai politik konvensional kalah bersaing dengan kekuatan politik kanan radikal.

Ketidakpastian Kepemimpinan

Salah satu prioritas EP yang baru adalah untuk memilih presiden EC berikutnya. Presiden saat ini Ursula von der Leyen sedang berusaha untuk dapat terpilih kembali tetapi menghadapi sejumlah tantangan potensial.

Pengangkatannya kembali tergantung pada dukungan yang cukup dari para pemimpin utama UE dan mayoritas di EP. Namun, kebangkitan sayap kanan dapat memperumit proses tersebut.

Kanselir Jerman Olaf Scholz pada Mei lalu memperingatkan bahwa presiden EC berikutnya sebaiknya tidak mencari dukungan dari partai-partai sayap kanan yang berharap mendapatkan perolehan suara yang besar dalam pemungutan suara pada Juni ini.

Perdebatan mengenai terpilihnya kembali von der Leyen juga terjadi di internal EPP. Pada Kamis, Francois-Xavier Bellamy dari partai Les Republicans, yang merupakan bagian dari EPP, mengatakan di media sosial X miliknya "Jika presiden EC tidak terpilih kembali, itu terjadi berkat perjuangan yang kami lakukan yang membuatnya menjadi minoritas di partainya sendiri. Keputusan ini akan diambil di dalam fraksi politik kami".
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Imam Budilaksono
COPYRIGHT © ANTARA 2024