Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa kepercayaan market sangatlah penting dalam pengelolaan utang, sehingga momentum tersebut harus terus dijaga bersama-sama oleh seluruh pihak.

Confidence market itu penting sekali. Persepsi mereka terhadap APBN, terhadap pengelolaan utang itu menentukan kemampuan kita untuk terus melakukan pengelolaan revolving risk, currency risk, dan maturity risk secara relatif smooth,” kata Sri Mulyani saat Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Kamis.

Berdasarkan pemaparannya, merujuk pada data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), jatuh tempo utang pemerintah pusat mencapai Rp800,33 triliun yang terdiri dari pinjaman sebesar Rp94,83 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp705,5 triliun pada 2025.

Di tahun 2025, porsi jatuh tempo SBN terhadap outstanding utang mencapai 88,28 persen. Porsi jatuh tempo SBN juga tinggi pada 2026 dan 2027 masing-masing mencapai 87,73 persen dan 86,61 persen.

Terkait pokok yang jatuh tempo, Sri Mulyani mengatakan bahwa risiko yang dihadapi oleh suatu negara bukan terletak pada magnitude-nya melainkan apakah negara tersebut mampu melakukan revolving.

“Jadi kalau negara ini tetap credible, APBN-nya baik, kondisi ekonominya baik, kondisi politiknya stabil, maka revolving itu sudah hampir dipastikan risikonya sangat kecil karena market beranggapan ‘oh, negara ini akan tetap sama’,” kata dia pula.

Oleh sebab itu, kata dia lagi, utang jatuh tempo pada 2025 hingga 2027 yang tinggi tersebut tidak menjadi masalah selama persepsi market terhadap APBN, kebijakan fiskal, ekonomi, dan politik tetap sama.

Sri Mulyani mengingatkan, pemegang surat utang negara tidak lantas langsung mengambil hasilnya sebab mereka juga tetap membutuhkan untuk alat investasi. Dengan demikian, pemegang surat utang dipastikan akan revolve kecuali mereka panik jika kondisi negara dinilai sudah tidak stabil.

“Makanya stabilitas dan kredibilitas serta sustainabilitas itu menjadi penting,” kata dia menegaskan.

Sri Mulyani juga mengingatkan, tingginya utang jatuh tempo pada 2025 hingga 2027 tersebut turut didorong oleh faktor pandemi COVID-19. Pada saat itu, Indonesia membutuhkan hampir Rp1000 triliun belanja tambahan dan di saat yang bersamaan penerimaan negara turun 19 persen.

Pada saat itu, Bank Indonesia (BI) bersama Komisi XI DPR RI sepakat untuk menjalankan skema burden sharing dengan menggunakan surat utang negara yang maturitasnya maksimum 7 tahun.

“Jadi kalau tahun 2020 (saat pandemi), maksimum jatuh tempo dari pandemi itu semuanya di 7 tahun. Dan memang ini sekarang konsentrasi di 3 tahun terakhir, 2025, 2026, 2027, dan sebagian di 2028. Inilah yang mungkin menimbulkan persepsi, ‘kok banyak sekali utang numpuk’, karena itu adalah biaya pandemi yang mayoritas kita issue surat utangnya berdasarkan agreement waktu itu,” kata dia lagi.

Sri Mulyani mengatakan, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Keuangan pada periode sebelumnya, sempat terjadi porsi jatuh tempo utang dengan porsi yang cukup tinggi selama satu tahun.

Meski begitu, Kemenkeu selalu bisa mengatasi hal tersebut. Hal ini, kata dia, juga hanya bisa dilakukan dengan kepercayaan market yang tetap terjaga.

“Kemampuan Kementerian Keuangan untuk smoothing, mengurangi jumlah yang jatuh tempo itu adalah berdasarkan kemampuan untuk reprofiling dari surat-surat berharga berdasarkan jatuh tempo, kadang-kadang kita diverse dari jatuh temponya dan dari sisi mata uangnya,” kata dia pula.
Baca juga: Top Capital Market 2017 bangun kepercayaan masyarakat
Baca juga: OJK: "Market maker" penting dongkrak kepercayaan publik di pasar modal


Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Budisantoso Budiman
COPYRIGHT © ANTARA 2024