Medan (ANTARA News) - Meningkatnya kasus korupsi oleh kepala daerah dan pejabat lainnya menunjukkan fungsi pengawasan oleh anggota legislatif sebagai perpanjangan tangan rakyat tidak berjalan, kata seorang pengamat politik.

"Pengawasan yang tidak berjalan disebabkan banyak faktor termasuk dugaan banyaknya legislator justru ikut bermain proyek sehingga harus pura-pura tidak tahu aksi itu," kata pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara Ahmad Taufan Damanik di Medan, Rabu.

Faktor lainnya adalah banyaknya anggota legislatif yang tidak mengembangkan pengetahuannya sehingga tidak tahu hal-hal apa yang harus diawasinya atau mencium "bau" korupsi itu.

"Jadi sebenarnya dosa kepala daerah itu juga menjadi dosa atau tanggung jawab legislatif,"katanya.

Untuk menekan terjadinya korupsi kepala daerah dan "kenakalan" anggota legislatif, menurut Taufan Damanik, masyarakat perlu semakin hati-hati menetapkan pilihan dalam Pemilu 2014.

Masyarakat diminta semakin cerdas melihat figur-figur yang akan dipilih, bukan justru tidak memilih alias golput yang akhirnya tidak memberikan perubahan.

Menurut dia, sebenarnya masyarakat sudah bisa menilai dari kinerja masing-masing legislatif bagi anggota DPRD/DPR/DPD RI, kalau memang pemilih masih mau memilih figur lama yang kembali mencalonkan diri.

Sementara kalau untuk yang memilih calon baru, pemilih bisa melihat latar belakang sang calon.

Dia mengakui yang sulit adalah bagaimana mengedukasi pemilih yang jauh dari perkotaan dimana biasanya masyarakatnya juga terlalu mudah percaya dengan janji-janji calon legislatif.

"Semuanya itu tanggung jawab bersama. Untuk perubahan yang lebih baik memerlukan kekuatan besar masyarakat,"katanya.

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pusat, Ali Masykur Musa, ketika di Medan, pekan lalu menyebutkan, sebagian besar atau 65 persen dari 311 kasus korupsi kepala daerah terungkap dari laporan badan itu.

Dari 311 kasus korupsi kepala daerah hingga dewasa ini, sebanyak 302 merupakan hasil laporan dari BPK dan selebihnya hasil operasi tangkap tangan termasuk oleh KPK.

BPK, kata dia, memang terus berupaya meningkatkan kinerjanya dalam pemeriksanaan keuangan untuk semakin menciptakan pemerintahan yang bersih.

Menurut Ali yang juga calon presiden (capres) konvensi Partai Demokrat, hasil temuan BPK, sebagian besar atau 60 persen kasus korupsi dilakukan dengan melakukan "mark up" belanja barang dan bantuan sosial fiktif.

Kasus-kasus korupsi itu marak terjadi saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pada 2012, kata dia, besaran atau potensi kerugian negara mencapai Rp36,7 triliun dari total ABPN Rp1,760 triliun.

Ia menegaskan, korupsi yang masih terus berlangsung itu dipicu beberapa faktor seperti tuntutan otonomi daerah di mana untuk menjadi kepala daerah memiliki biaya tinggi.

"Karena korupsi semakin banyak dan merugikan negara dan rakyat, maka selain sanksi hukumnya harus tegas, tindakan melakukan pemiskinan kepada koruptor harus dilakukan untuk efek jera," katanya.

(E016/N002)

Pewarta: Evalisa Siregar
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2014