Jakarta (ANTARA) - Rumah berpagar hitam itu terbuka lebar dengan mobil bak dipenuhi karung bermuatan plastik yang siap diantar. Tidak jauh dari tempat itu, dua orang memasukkan barang bekas berbahan plastik ke dalam karung lain. Sebuah pemandangan normal rutin terlihat di satu bank sampah di Jakarta.

"Semua operasi bank sampah kebanyakan dilakukan oleh anak-anak," kata pencetuas bank sampah Dindin Komarudin, ketika ditemui ANTARA di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (7/6).

Anak-anak yang dimaksud Dindin adalah 13 orang berusia dewasa, berlatar belakang anak jalanan, beberapa, bahkan masih ada yang menghabiskan hidupnya mencari peruntungan di jalanan. Mereka adalah bagian dari 16 orang yang menjalankan operasional bank sampah dan yayasan.

Awal mula bank sampah itu memang tidak biasa. Cikal bakalnya, pada 2003 ketika pria yang akrab disapa Abah Dindin itu bekerja di sebuah yayasan yang mengurus anak jalanan, termasuk menyediakan rumah singgah bagi mereka.

Untuk membuat mereka betah, Dindin sebagai pekerja sosial kemudian mencoba mencari kegiatan yang dapat menjadikan mereka kerasan dan mengurangi aktivitas di jalanan. Kekurangan dana untuk membeli peralatan, dia mencari media paling mudah didapat, yaitu sampah dan barang bekas.

Aktivitas membuat prakarya dari barang bekas itu cukup disukai oleh anak asuhnya dan beberapa hasil karya, bahkan dibeli oleh donatur. Hanya saja, kegembiraan Dindin dan para anak asuhnya ketika barang-barang mereka dibeli dengan nilai tinggi tidak berlangsung lama.

Mereka sadar kebanyakan pembeli melakukannya karena dasar kasihan dan tidak benar-benar membutuhkan barang-barang tersebut, tapi ingin membantu secara tidak langsung.

Kesadaran itu menjadi titik balik bagi pria berusia 50 tahun itu dan anak-anak jalanan yang berada di komunitasnya kemudian berpikir bagaimana cara membuat produk daur ulang sampah yang memiliki nilai jual dan dibutuhkan pembeli.

Hal pertama yang dilakukan adalah memberikan kesan baik, para anak jalanan itu kemudian belajar untuk memiliki penampilan rapi dan bersih serta bertutur kata yang baik  disertai dengan pembuatan produk-produk daur ulang yang memiliki nilai guna.

Kerja keras memang jarang mengkhianati hasil. Dindin dan para anak asuhnya kemudian mulai menerima banyak permintaan membuat produk daur ulang dan bahkan memberikan pelatihan, mulai dari kelompok mahasiswa sampai komunitas masyarakat. Sejak 2010 dia dan komunitasnya mulai diajak bekerja sama dengan perusahaan serta instansi pemerintah setempat.

Undangan pelatihan daur ulang membuka dunia mereka, membawa Dindin dan anak-anak jalanan yang diasuhnya tidak hanya berkeliling Jakarta, tapi juga berbagai wilayah lain di Indonesia. Sebuah pengalaman yang memberikan kepercayaan diri bagi para anak jalanan tersebut, membantu mengubah sudut pandang yang mereka sematkan kepada diri sendiri karena stigma masyarakat.

Lulusan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung itu bercerita awalnya mereka distigma oleh masyarakat, dianggap tidak berguna. Dengan ketekunan yang berbuah keterampilan, lambat laun banyak orang-orang mengajak mereka memberikan pelatihan tentang daur ulang.

Beragam produk daur ulang yang mereka buat lahir dari ide-ide para anak jalanan tersebut. Hal yang paling berkesan bagi Dindin adalah kertas daur ulang berbulu kambing, hasil "kejahilan" anak asuhnya memasukkan bulu kambing ke dalam bubur kertas.

Hasilnya, kertas dengan bulu kambing itu banyak dicari ketika mereka ikut dalam satu pameran. Bahkan, terdapat pembeli dari Jepang yang mencari kertas unik tersebut.

Semakin banyak yang mencari produk dan ingin diberikan pelatihan, semakin para anak jalanan tersebut merasa dihargai sebagai bagian masyarakat yang memberikan kontribusi kepada lingkungan sekitar. Meski hasil yang didapat dengan hidup di jalanan dapat lebih besar dari penghasilan saat ini, mayoritas dari mereka kini secara penuh membantu operasi dari bank sampah itu.

Sampah juga membawa perjalanan hidup Dindin dan anak-anak asuhnya ke tingkat yang lebih tinggi ketika membangun bank sampah pada 2016.

Alasan memulai bank sampah yang kini menjadi Bank Sampah Induk (BSI) Kumala dan Yayasan Kreatif Usaha Mandiri Alami (Kumala) sederhana. Bagi ayah tiga anak itu, selain membantu mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat produk daur ulang, sekaligus memberikan kegiatan bermanfaat kepada anak-anak yang rentan menjadi anak jalanan.

Sama dengan produk daur ulang, mengoperasikan bank sampah juga diwarnai dengan beragam tantangan.

Mereka menghadapi tantangan internal dengan kebutuhan dana dan beberapa kali didatangi oleh aparat akibat anak asuhnya yang tertangkap. Terdapat pula isu eksternal karena penolakan lingkungan akibat lokasi itu menjadi tempat berkumpulnya sampah sungguhan dan anak jalanan yang kerap distigma sebagai "sampah masyarakat".

Dindin dan anak asuhnya terus berupaya perlahan membangun kepercayaan dari masyarakat, dimulai dari anak-anak asuhnya tidak hanya diberikan kemampuan untuk bertahan hidup dengan produk daur ulang, tapi juga dibimbing tentang keteraturan, norma masyarakat dan disiplin yang menghasilkan perubahan sikap.

Waktu kembali menjadi jawaban untuk memecahkan beragam masalah, dimulai dari menabung sampah yang hanya dilakukan oleh anggota komunitas, kini bank sampah itu berstatus sebagai bank sampah induk pada 2023. Nasabah awal-awal banyak yang berasal dari Tanjung Priok, kebanyakan berasal dari luar wilayah itu.

BSI itu saat ini membina 34 bank sampah unit dan memiliki 348 nasabah individu, enam nasabah sekolah, tujuh nasabah perusahaan dan dua nasabah instansi pemerintah.

Tidak hanya itu, 11 RT yang berada di sekitar bank sampah di Tanjung Priok juga kini menyetor sampah untuk didaur ulang.

BSI itu sendiri memiliki kapasitas menampung 8-10 ton sampah plastik, yang ditargetkan akan meningkat menjadi 12-14 ton dalam bulan ini. Selain juga menerima pesanan untuk membuat beragam produk dengan menggunakan bahan daur ulang.

Waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan masyarakat, dan, bahkan keluarganya sendiri, adalah sesuatu yang wajar, mengingat masih banyak prasangka buruk diberikan kepada anak jalanan dan beragam aktivitas mereka.

Meskipun demikian, ketika membangun nilai kita semua, hal utama yang perlu diperhatikan adalah tidak merugikan orang, sebaliknya, justru semua aktivitas harus bermanfaat untuk orang lain, termasuk pada lingkungan.

Salah satu anggota tim Bank Sampah Induk Kumala memeriksa produk daur ulang kayu yang dipesan oleh nasabah di Jakarta, Jumat (7/6/2024) (ANTARA/Prisca Triferna)
Penghargaan Kalpataru

Sampah yang kerap dipandang sebelah mata tidak hanya membantu Dindin membimbing anak jalanan, tapi juga membawanya mendapatkan penghargaan lingkungan hidup Kalpataru pada 2024, yang diberikan kepada individu atau kelompok berjasa dalam pelestarian lingkungan.

Dalam upacara penganugerahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta saat Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 pada 5 Juni lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya menyebut para penerimanya sebagai pahlawan yang melakukan langkah luar biasa dan nyata, tidak hanya untuk lingkungan, tapi juga masyarakat sekitar.

Kalpataru merupakan tanda penghargaan dari pemerintah untuk mereka yang berupaya menjaga lingkungan dan membantu masyarakat tempat para penerimanya berkarya, sekaligus menjadi amanah bagi yang menerimanya agar tetap berjuang bagi lingkungan dan masyarakat.

Dindin sendiri melihat penghargaan itu sebagai bagian dari proses yang terus berjalan dan merupakan buah kerja keras usaha oleh anak-anak binaannya.

Pembinaan anak jalanan akan terus dia lanjutkan, kini, bahkan sudah merangkul juga kelompok marjinal lain, seperti kaum disabilitas, pemulung, dan nelayan, terutama di wilayah sekitar Jakarta Utara, termasuk Kampung Bayam, kolong Tol Papanggo, Gang Salak, dan Tanah Merah.

Dia juga sudah menyiapkan anak-anak binaannya untuk memastikan operasi bank sampah induk dan yayasannya terus berjalan. Dindin mengandaikan hal itu seperti membangun rumah kokoh membutuhkan dasar kuat serta proses tanpa henti.

Dindin meyakini anak-anak jalanan yang dibimbingnya akan mampu melanjutkan bank sampah itu, tidak hanya untuk memastikan lingkungan hidup yang sehat, tapi juga mengubah masyarakat, meski akan membutuhkan waktu yang panjang.

Percobaan dan kegagalan adalah sebuah proses yang harus dilalui tidak hanya dalam melakukan daur ulang sampah, tapi juga membentuk menjadi manusia yang lebih baik.
 

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2024