Singapura (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan, sekitar 20 persen perbedaan persepsi antara RI dan Singapura belum bisa dituntaskan terkait semangat pelaksanaan kerja sama pertahanan (defence coordination agreement/DCA) sehingga kejelasan aturan main diperlukan untuk mencegah masalah baru. Kepada pers seusai melakukan pembicaraan antardelegasi dengan mitranya, Perdana Menteri Singapura, Lee H Loong, soal itu di Singapura, Senin malam, kedua pihak itu gembira bahwa setelah bekerja sangat serius, tinggal 15-20 persen saja yang perlu dibicarakan secara menyeluruh. "Mana yang terbaik, terbaik untuk kedua negara, atau melaksanakan ekstradisi yang telah lama sekali kita tunggu. Begitu juga kerja sama pertahanan yang harus diperbarui dengan harapan kedua pihak bisa mendapatkan keuntungan," katanya. Yudhoyono berada di Singapura selama satu hari dengan tiga agenda, yaitu menjadi pembicara dalam konferensi ekonomi internasional, memimpin pembicaraan delegasi RI soal perjanjian ekstradisi, DCA, dan pengembangan kawasan ekonomi khusus Batam, Bintan, dan Karimun. Khusus soal perjanjian ekstradisi yang diembuskan sejak 31 tahun lalu namun senantiasa menemui kebekuan, sejak setahun lalu telah terlahir tekad kedua pemerintahan untuk mengakhiri kebekuan itu. "Ekstradisi ini telah 31 tahun ditunggu untuk bisa dilakukan, baru tahun lalu dihidupkan kembali dengan intensitas yang luar biasa," katanya. Terkait dengan eksistensi perbedaan persepsi soal DCA ini, Yudhoyono menyatakan, ada beberapa hal yang menonjol. Di antaranya adalah penentuan wilayah latihan pertahanan bersama yang boleh dipakai kedua negara. "Ada hal-hal yang perlu dirumuskan bersama, misalnya dipastikan wilayah kerja sama atau latihan bersama, misalnya wilayah Sumatera dan Melayu termasuk udara, darat atau lautnya. Jika itu beres maka kita akan mempunyai wilayah pasti untuk latihan dan itu kewenangan kita untuk menentukan hal itu," katanya. Selain itu, masalah berikutnya adalah penentuan "aturan main" jika di kemudian hari ada negara lain yang ingin ikut berlatih atau diusulkan salah satu negara untuk dilibatkan dalam latihan bersama itu. Dalam hal ini, katanya, penentuan lokasi latihan itu menjadi kewenangan Indonesia untuk menetapkan. Setelah menandatangani kerja sama ini, bagaimana ketentuannya jika ada pihak ketiga yang ingin ikut berlatih. Misalnya negara ASEAN yang dia ingatkan tergabung dalam ASEAN Security Community. Rincian tentang ini, katanya, akan dirumuskan sesegera mungkin dengan prinsip saling menguntungkan dan bisa diterapkan secepat mungkin. "Lebih cepat lebih baik," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006