Baghdad (ANTARA) - Salih (12) tidak pernah menginjakkan kaki di ruang kelas. Setelah ayahnya tewas dalam serangan bom mobil beberapa tahun yang lalu, beban keluarganya berada di pundak kecilnya.

Sebagai anak laki-laki tertua di keluarga beranggota tujuh orang, hari-harinya dihabiskan untuk menjelajahi pasar grosir al-Shorja di Baghdad, mendorong gerobak yang penuh barang dengan upah tak seberapa, selama enam hari dalam sepekan.

Salih bukanlah satu-satunya pencari nafkah muda dalam keluarganya. Adik laki-lakinya yang berusia 10 tahun juga bekerja keras di pasar karena ada banyak orang yang harus diberi makan di keluarga mereka.

"Saya berharap bisa pergi ke sekolah dan menghabiskan waktu bersama teman-teman," kata Salih. Dirinya tidak dapat membayangkan seperti apa kehidupan sekolah atau apa cita-citanya kelak. Memenuhi kebutuhan dasar keluarganya telah menyita seluruh waktu dan energinya.

Salih hanyalah satu dari ribuan anak di Irak yang terpaksa bekerja karena dampak kemiskinan dan ketidakstabilan.

Dalam rangka memperingati Hari Dunia Menentang Pekerja Anak yang jatuh pada Rabu (12/6), pemerintah Irak menghadapi perjuangan berat untuk membendung meluasnya fenomena pekerja anak.

Mohammed Fahim, seorang pengacara di Baghdad, mengatakan bahwa undang-undang Irak melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, dengan hukuman bagi pelanggar yang bisa berupa sanksi penjara atau denda.

Namun, ribuan keluarga miskin terpaksa mengirim anak-anak mereka bekerja meski hukuman menanti, karena tidak ada hukuman yang lebih berat daripada kelaparan.
 
   Pekerja anak merupakan masalah yang terus berlanjut di negara itu lantaran konflik selama bertahun-tahun telah menyebabkan kemiskinan meluas. Pada 2023, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutip sebuah survei yang menyebutkan bahwa "5 persen anak berusia 5 hingga 14 tahun di Irak menjadi pekerja anak, dengan tingkat yang lebih tinggi di kelompok anak yang tinggal di rumah tangga berpenghasilan rendah dan daerah pedesaan."   "Saya bekerja untuk menyokong keluarga saya karena kondisi keuangan kami sulit," kata Sajjad, yang berpenghasilan harian 10.000 dinar Irak (1 dinar Irak = Rp12,5) atau sekitar 7 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.297), bekerja dari pukul 08.00 hingga 17.00 dan hanya memiliki waktu satu jam untuk beristirahat.


Di Baghdad, dengan suhu udaranya telah melonjak di atas 45 derajat Celsius, Sajjad (14) bekerja di toko pandai besi milik pamannya, menempa besi di atas paron untuk mencari nafkah dan membantu ayahnya yang lumpuh.
 
   "Saya bekerja untuk menyokong keluarga saya karena kondisi keuangan kami sulit," kata Sajjad, yang berpenghasilan harian 10.000 dinar Irak (1 dinar Irak = Rp12,5) atau sekitar 7 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.297), bekerja dari pukul 08.00 hingga 17.00 dan hanya memiliki waktu satu jam untuk beristirahat


"Ayah saya tidak bisa bekerja karena sakit, jadi saya harus membantu keluarga saya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujar Sajjad. "Saya berharap anak-anak di Irak dapat hidup dengan tenang dan aman sehingga mereka tidak perlu bekerja saat masih kecil."

Invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada 2003 tak hanya menghancurkan aparatur negara Irak, namun juga menghancurkan tatanan politik dan stabilitas sosial di negara itu serta menyebabkan kekacauan politik, ekonomi, dan sosial yang serius.

"Invasi AS telah mengakibatkan bencana dalam masyarakat Irak, termasuk ketiadaan supremasi hukum dan kewibawaan negara, yang membuat beberapa orang mengeksploitasi anak-anak dan memaksa mereka bekerja," ungkap Fahim.

"Anak-anak Irak harus menanggung konsekuensi berat. Mereka kehilangan hak menikmati masa kecil yang aman dan bahagia, serta pendidikan. Banyak dari mereka yang justru ditinggalkan di jalanan untuk bekerja di usia dini," tutur Fahim.


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
COPYRIGHT © ANTARA 2024