Jakarta (ANTARA) - Setelah beberapa tahun diguncang pandemi COVID-19, dunia akhirnya mendapatkan titik terang karena diproyeksikan dapat tumbuh stabil pada 2024 di angka 2,6 persen, meski ketegangan geopolitik dunia dan suku bunga global yang bertahan tinggi untuk waktu lama masih membayangi.

Pertumbuhan tersebut terutama disebabkan oleh berlanjutnya ekspansi ekonomi AS yang solid. Pada tahun 2025 -- 2026, ekonomi global diperkirakan dapat meningkat hingga rata-rata 2,7 persen, seiring dengan menguatnya pertumbuhan perdagangan dan pelonggaran kebijakan moneter yang luas namun terukur guna mendukung aktivitas ekonomi.

Namun, angka pertumbuhan tersebut jauh di bawah rata-rata 3,1 persen pada dekade sebelum COVID-19. Baik negara-negara maju maupun negara-negara berkembang akan tumbuh lebih lambat dibandingkan dekade sebelum pandemi COVID-19. Demikian menurut laporan Prospek Ekonomi Global terbaru dari Bank Dunia.

Pertumbuhan global pada 2024 -- 2025 juga masih akan berada di bawah rata-rata pertumbuhan pada 2010 di hampir 60 persen negara, yang mewakili lebih dari 80 persen populasi global. Di tengah meningkatnya eskalasi konflik, prospek di banyak negara yang rentan masih tetap lemah.

Sementara, negara-negara berkembang pada tahun 2024 -- 2025 diproyeksikan akan tumbuh rata-rata sebesar 4 persen, sedikit lebih lambat dibandingkan tahun 2023.

Adapun inflasi global diperkirakan melambat menjadi 3,5 persen pada tahun 2024 dan 2,9 persen pada 2025, namun laju penurunan inflasi lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.

Tiongkok akan tumbuh melambat pada 2024 dan semakin melambat pada tahun 2025 -- 2026, dengan tantangan siklus yang membebani pertumbuhan dalam waktu dekat seiring dengan berlanjutnya perlambatan struktural.

Tidak termasuk Tiongkok, pertumbuhan negara-negara berkembang (emerging market and developing economies ) diproyeksikan meningkat menjadi 3,5 persen pada 2024 dan kemudian menguat menjadi rata-rata 3,9 persen pada tahun 2025 -- 2026, seiring dengan menurunnya inflasi, kondisi keuangan yang membaik, dan permintaan eksternal yang meningkat.

Tantangan besar tetap ada di negara-negara yang rentan, termasuk negara-negara berpendapatan rendah (low-income country/LICs) dan negara-negara yang menghadapi tingkat konflik dan kekerasan yang tinggi, di mana prospek pertumbuhannya sangat memburuk.

Menurut Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia Indermit Gill, Indonesia dan India merupakan dua negara yang memiliki kinerja perekonomian yang solid (robust).

Indonesia diperkirakan akan memperoleh manfaat dari pertumbuhan kelas menengah dan policy ekonomi yang secara umum bijaksana, yang meningkat rata-rata sebesar 5,1 persen selama 2 tahun ke depan.

Adapun perekonomian India telah membaik didukung oleh permintaan domestik yang kuat dan melonjak dalam investasi, dan aktivitas jasa yang kuat.

India diproyeksikan tumbuh rata-rata 6,7 ​​persen per tahun fiskal dari 2024 hingga 2026 sehingga dapat mengakibatkan kawasan Asia Selatan menjadi wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

Kinerja tersebut menunjukkan pertumbuhan yang tinggi tetap dapat dipertahankan, bahkan dalam kondisi sulit. Negara-negara dapat meningkatkan pertumbuhan jangka panjang dengan memberlakukan kebijakan yang membangun sumber daya manusia, meningkatkan produktivitas, meningkatkan efisiensi belanja publik, dan mendorong lebih banyak perempuan untuk memasuki angkatan kerja.


Tumbuh solid

Bank Dunia merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 menjadi 5 persen dari proyeksi sebelumnya 4,9 persen dengan mempertimbangkan revisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global terutama Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Secara khusus Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan solid karena ditopang oleh pertumbuhan kelas menengah dan kebijakan ekonomi yang cenderung ekstrahati-hati atau prudent.

Bank Dunia juga merevisi naik proyeksi pertumbuhan Indonesia pada 2025 menjadi 5,1 persen atau meningkat 0,2 persen dari proyeksi sebelumnya, sedangkan pada 2026 Indonesia diperkirakan tumbuh 5,1 persen.

Menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, sektor jasa keuangan Indonesia juga terjaga stabil.

Stabilisasi sektor jasa keuangan yang tetap terjaga didukung oleh tingkat permodalan yang kuat dan likuiditas memadai di tengah ketidakpastian global akibat masih tingginya tensi geopolitik, potensi meluasnya perang dagang, serta kinerja perekonomian global yang masih di bawah ekspektasi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sebesar 5,11 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada triwulan I-2024.

Secara perkiraan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di sebagian besar negara di kawasan Asia-Pasifik (EAP), kecuali Tiongkok—termasuk Indonesia, Malaysia, dan Filipina—akan ditopang oleh pertumbuhan konsumsi swasta yang kuat yang didukung oleh inflasi yang rendah, penurunan biaya pinjaman, dan kondisi pasar tenaga kerja yang kuat.

Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede Permatabank, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 masih akan berkisar 5 persen sampai dengan 5,1 persen sejalan dengan proyeksi Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF).

Namun demikian, masih terdapat downside risk terhadap pertumbuhan ekonomi terutama komponen konsumsi masyarakat di mana lajunya masih di bawah pertumbuhan nasional sejalan dengan potensi penurunan pendapatan riil masyarakat di tengah kenaikan biaya hidup terutama masyarakat kelas menengah.

Misalnya, implementasi tarif efektif rata-rata PPh, tren harga dari beberapa komoditas pangan yang masih tinggi, biaya pendidikan, dan terakhir wacana potongan iuran Tapera yang memengaruhi keputusan konsumen untuk menahan belanja terutama belanja barang tahan lama.

Oleh sebab itu, dalam kondisi konsumen cenderung menahan belanja, maka berpotensi memengaruhi kinerja penjualan dari sisi lapangan usaha.

Pemerintah perlu fokus dalam upaya menjaga agar biaya hidup masyarakat tidak meningkat signifikan pada stabilnya pendapatan nominal masyarakat.

Pemerintah perlu berhati-hati dalam melakukan penyesuaian harga-harga barang/jasa yang diatur oleh pemerintah terkait harga bahan bakar minyak (BBM), harga LPG, dan tarif listrik.

Belum lagi terkait dengan rencana penyesuaian tarif cukai plastik dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan yang juga diperkirakan akan menambah biaya hidup masyarakat.

Oleh karena itu, Pemerintah perlu mengelola momentum, agar daya beli masyarakat tidak makin turun dengan rencana atau wacana terkait dengan harga barang/jasa yang diatur Pemerintah sekaligus mendorong stabilitas harga pangan yang juga bisa memengaruhi daya beli masyarakat.

Selain itu, Pemerintah juga perlu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar yang berpotensi mendorong peningkatan pendapatan riil masyarakat dan mendorong penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Dengan peningkatan pendapatan riil masyarakat tersebut, diharapkan optimisme konsumen dan daya beli masyarakat dapat meningkat yang pada akhirnya berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi yang solid.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024