Jakarta (ANTARA) - Pemerintah terus berjuang mengentaskan permasalahan stunting untuk mencapai target 14 persen sebagaimana yang telah ditentukan pada tahun 2024, sejak Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dengan kelima pilarnya disahkan.

Berdasarkan Survey Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 angka prevalensi stunting secara nasional tercatat berada pada angka 21,5 persen, atau turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya.

Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta Abdul Razak Thaha, capaian tersebut menjadi catatan bahwa mencegah lahirnya kasus stunting baru lebih utama, selain menangani anak stunting.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa angka prevalensi yang naik di wilayah itu  disebabkan oleh sejumlah faktor risiko yang secara spesifik belum tertangani dengan baik. Selain penyia-nyiaan, ada calon pengantin yang mengalami kekurangan energi kronik (KEK), perempuan dengan anemia, sampai masalah kemiskinan ekstrem.

Belajar dari sebelumnya, Dinas Kesehatan Provinsi Jabar terlalu fokus pada penanganan anak stuntingnya, kini juga berfokus pada mencegah lahirnya anak stunting baru yang disebabkan oleh beberapa hal.

Dengan mengetahui bentuk intervensi yang harus dibenahi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian menggencarkan sejumlah upaya pencegahan lewat diluncurkannya sebuah program "Geber Si Jumo dan Jamilah".

Program tersebut dijadikan sebagai gerakan bersama untuk meningkatkan literasi masyarakat terkait dengan stunting, pentingnya imunisasi, penanganan Tuberkulosis (TB), sampai menjaga ibu hamil.

Hal itu juga mencakup pencegahan penularan demam berdarah (DB) dan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mengingat dalam beberapa waktu kasus DB dan TB di daerah tersebut juga tinggi.

Pencarian kasus stunting pun kian dimasifkan lewat pengukuran tumbuh kembang anak yang digelar rutin. Seluruh bayi diukur dan ditimbang dengan menggunakan alat ukur yang sudah terstandar nasional, mulai berat badan hingga tinggi badan.

Tidak ketinggalan, semua calon pengantin yang ingin menikah diwajibkan mendapatkan  sertifikat layak nikah dari puskesmas setempat, agar diketahui status kesehatannya. Hal ini bertujuan supaya tiap kehamilan yang direncanakan tidak membahayakan ibu dan janin yang dikandung.

Semua data yang didapat setiap hari bakal dievaluasi dan dikonsultasikan bersama Kementerian Kesehatan guna memberikan intervensi yang jauh lebih tepat.

Intervensi yang diberikan pada anak dengan kondisi sudah stunting, pemerintah berupaya memperbaiki gizinya melalui makanan pemulihan yang jumlahnya tergantung dari sejauh mana tingkat kekurangan gizi si bayi.

Sementara bagi kelompok remaja putri di sekolah diberikan tablet tambah darah (TTD) sekali setiap pekan, seperti halnya yang dijalankan di lembaga pendidikan MTs Ma'arif Sidaraja,

Kader tablet tambah darah membagikan obat kepada para siswi MTs Ma’arif Sidaraja, Sumedang, Jawa Barat pada Senin (10/6/2024). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti) (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Program tersebut dijalankan bekerja sama dengan puskesmas terdekat. Di sekolah itu para remaja putri dipastikan meminum TTD setiap hari Selasa pada jam pertama pembelajaran.

Pengawasannya dibantu oleh kader yang kemudian didata melalui Google Sheet untuk diserahkan pada puskesmas.

Sebelumnya para orang tua menolak program tersebut dengan alasan memiliki perasaan ragu akan efek samping TTD pada remaja putri yang mengonsumsi. Belum lagi beberapa orang tua mengaku anaknya tidak bisa meminum obat tanpa menggunakan pisang atau menggerus obat tersebut.

Sementara sejumlah remaja putri mengaku tidak mau meminum TTD karena adanya anggapan akan menjadi gemuk atau merasa mual.

Semua itu terjadi karena minimnya literasi dan edukasi pada orang tua. Karena itu, bagian kesiswaan di sekolah di bawah naungan Kemenag itu bersama puskesmas memasifkan sosialisasi soal tablet tambah darah. Sekolah juga rutin melakukan dokumentasi supaya remaja putri semangat untuk melawan anemia dan stunting.

Hal yang juga diperhatikan oleh pimpinan sekolah selalu menekankan jika remaja putri harus sudah sarapan sebelum mengonsumsi obat tersebut, dengan tujuan agar rasa mual tidak timbul sejak awal.

Sambil membagikan obat itu, para guru juga rajin menyerukan bahwa TTD mendatangkan banyak manfaat bagi kesehatan remaja karena kaya akan kandungan zat besi untuk mencegah anemia akibat kadar hemoglobin (Hb) yang rendah.

Konsentrasi para remaja juga jauh lebih terjaga, sehingga tidak akan mempengaruhi proses pembelajaran di sekolah.

Sejumlah siswa mengakui awalnya memang sempat merasakan mual dan tidak mau mengonsumsi TTD lagi, tapi karena yakin para guru tidak berbohong, mereka akhirnya berani untuk membiasakan diri.

Para siswa kemudian juga yakin kalau TTD bisa menyelamatkan anaknya di masa depan dari ancaman stunting.


Edukasi dimasifkan

Melihat dampak baik yang diberikan dari edukasi masif di tingkat sekolah dan keluarga, Pemerintah Provinsi Jawa Barat semakin bersemangat untuk memperluas kerja sama dengan para  pemangku kepentingan lain agar informasi yang disampaikan semakin mengenai seluruh lapisan masyarakat

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemprov Jawa Barat mencatat edukasi yang kian dimasifkan di tengah masyarakat akan sangat berdampak pada perubahan pola perilaku ke arah yang lebih sehat.

Misalnya, calon ibu menjadi lebih peduli terhadap makanan yang dikonsumsi sejak muda, pentingnya menjalankan PHBS sampai calon ayah mengerti dampak buruk dari rokok bagi keluarga di rumah.

Hal inilah yang terus didorong bersama dengan organisasi berbasis gizi, Nutrition International (NI) dan Save the Children yang menginisiasi program Better Investment for stunting (BISA) yang dinilai dapat membantu pemerintah memutus siklus lahirnya anak stunting antargenerasi.

Berdasarkan penjelasan dari Senior Program Officer Nutrition International Indonesia Handayani Wasti Sagala, program BISA sudah dijalankan di dua daerah, seperti Sumedang, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Program itu punya area intervensi yang terbagi menjadi tiga lingkup. Pertama, pemerintah bersama pihaknya akan menggunakan teknik komunikasi yang dapat mendorong perubahan perilaku dan sosial terkait pemberian makanan tambahan dan anak (PMBA).

Metode ini juga dipraktikan dalam aspek kebersihan berupa cuci tangan memakai sabun, memperbaiki pola hidup remaja, ibu hamil dan menyusui, hingga pola pengasuhan anak di bawah dua tahun.

Selanjutnya dalam sistem kesehatan, BISA mendorong pemerintah untuk meningkatkan kapasitas para tenaga kesehatan, staf pengawas dan pemangku kepentingan.

Di kabupaten dan provinsi, program tersebut membantu pemerintah dalam memberikan layanan gizi berkualitas yang berkesinambungan dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga mengolah panganan lokal.

Sementara terkait dengan kerja sama bersama pemerintah, program itu akan mendukung implementasi kebijakan nasional di tingkat pemerintahan yang lebih rendah, dengan mengembangkan kemampuan pemerintah lokal dalam merencanakan, menganggarkan dan memperkuat koordinasi para pemangku kepentingan.

Perjuangan mengentaskan stunting memang memerlukan perjuangan semua pihak. Semua pihak perlu saling merangkul dan mempererat kerja sama agar tidak ada lagi anak yang harus menderita karena stunting di masa depan, karena semuanya dapat dicegah mulai dari diri kita sendiri.
 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2024