Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti hasil penelitian yang menunjukkan jumlah anak putus sekolah secara nasional masih cukup tinggi.

Ketua KPAI Ai Maryati Solihah di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa berdasarkan penelitian lembaganya menemukan 5 dari 10 Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/kota pada tahun 2022, mencatatkan sebanyak 778 anak yang putus sekolah.

Bahkan, kata dia, dalam penelitian tersebut, KPAI juga menemukan selisih kelulusan anak, kelulusan pada tingkat pendidik SD, SMP dan seterusnya daerah metropolis berjumlah berkisar 30.138 anak.

Baca juga: Rumah Belajar atasi tingginya angka putus sekolah

Meski penelitian dilangsungkan pada tahun 2022, KPAI menilai jumlah tersebut tergolong tinggi, terlebih berlangsung di tengah modernisasi sarana pendidikan nasional yang memanfaatkan kemajuan sistem informasi.

"Angka ini tidak sederhana dan harus direspons semua pihak, apa solusi terbaik untuk mengatasinya," kata Ai Maryati dalam fokus grup diskusi dan diseminasi SKSG Universitas Indonesia dengan tema "Pengawasan Pekerja Anak Berbasis Pentahelix di Indonesia".

Menurut dia, penyelesaian isu tersebut menjadi sangat penting dan butuh keterlibatan aktif semua pihak, pemerintah pusat dan daerah, lembaga pemerhati sosial, bahkan hingga aparat penegak hukum.

Sebab, berdasarkan hasil observasi KPAI, keberlanjutan pendidikan juga masuk sebagai salah satu indikator anak (di bawah usia 18 tahun) rentan terjerumus dalam dunia pekerjaan terburuk dan eksploitasi.

KPAI mengklasifikasikan lima sektor besar bentuk pekerjaan terburuk pada anak, yakni anak yang dilacurkan (31,6 persen), anak jalanan (15,8 persen), anak pemulung (15,8 persen), pekerja rumah tangga anak (15,8 persen), dan anak yang dipekerjakan sektor pertanian (21,1 persen).

Baca juga: LPA: Program kampung pintar di Surabaya tekan angka putus sekolah

Baca juga: Program Indonesia Pintar turunkan angka putus sekolah


Terbaru dalam fungsi pengawasan yang dilakukan pada tahun 2023, KPAI menangani tiga anak asal Jember dan Banten korban eksploitasi seksual-Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mereka mendapat perlakuan perbudakan seks dengan harus melayani 15-20 kali sehari di beberapa apartemen di Jakarta Timur.

"Alasan ekonomi keluarga juga jadi indikator. Tertinggi yang kami temukan untuk anak yang dilacurkan berjumlah di atas 50 anak, mereka mayoritas ya, putus sekolah," ujarnya.

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Endang Sukarelawati
COPYRIGHT © ANTARA 2024