Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 12 bank perekonomian rakyat (BPR) dan BPR syariah (BPRS) yang tutup sepanjang 5 bulan pertama tahun ini telah memunculkan perhatian terhadap penerapan tata kelola pada bank yang dikenal sebagai community bank tersebut. Untuk 12 BPR-BPRS yang bangkrut, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengucurkan dana sekitar Rp300 miliar guna membayarkan klaim simpanan nasabah.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan bahwa BPR-BPRS yang dicabut izin usahanya rata-rata memiliki permasalahan fundamental yang terkait dengan fraud. Walaupun magnitude kebangkrutan BPR-BPRS itu tak begitu besar—jika dibandingkan dengan bank umum yang bangkrut, misalnya—,bagaimanapun bisnis perbankan sangat mengandalkan kepercayaan masyarakat sehingga kepercayaan itu harus benar-benar dijaga.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut pencabutan izin usaha suatu BPR-BPRS sebetulnya bukan sesuatu yang direncanakan oleh otoritas sehingga otoritas tidak bisa menyampaikan secara pasti apakah dalam waktu dekat akan kembali mencabut izin BPR-BPRS.

Namun yang pasti, OJK terus melakukan pemeriksaan intensif terhadap seluruh BPR-BPRS untuk memastikan kesanggupan mereka melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), termasuk tak lagi mentoleransi adanya BPR-BPRS bermasalah terkait fraud.

Jumlah BPR dan BPRS terus mengalami penurunan, dari semula 1.799 BPR dan BPRS  pada tahun 2016 menjadi 1.575 BPR dan BPRS  pada tahun 2023. Terbaru per April 2024, jumlah BPR dan BPRS tercatat menjadi 1.562. Namun perlu diketahui bahwa penurunan jumlah BPR dan BPRS, menurut OJK, sebagian besar karena ada aksi konsolidasi, baik melalui penggabungan maupun peleburan.

Secara umum, kinerja BPR-BPRS masih terjaga dengan baik. Pada Maret 2024, total aset BPR dan BPRS tumbuh sebesar 7,34 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp216,73 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) BPR dan BPRS tumbuh 8,60 persen yoy menjadi senilai Rp158,8 triliun. Kemudian penyaluran kredit dan pembiayaan tumbuh 9,42 persen yoy menjadi senilai Rp161,90 triliun.

Namun, pertumbuhan penyaluran kredit dan pembiayaan BPR dan BPRS tidak diiringi dengan rasio non-performing loan (NPL) dan non-performing financing (NPF) yang baik. Per Maret 2024, NPL BPR tercatat di level 10,70 persen sementara NPF BPRS tercatat 7,44 persen.

Di sisi yang lain, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) BPR dan BPRS menunjukkan ketahanan yang baik. Pada Maret 2024, rasio CAR BPR dan BPRS masing-masing sebesar 32,60 persen dan 23,56 persen, jauh di atas ambang batas atau threshold.

Terkait aspek permodalan, sebagaimana Peraturan OJK (POJK) No. 5 Tahun 2015 dan POJK No. 66 Tahun 2016, BPR dan BPRS memiliki kewajiban untuk memenuhi modal inti minimum Rp6 miliar, setidaknya pada akhir tahun 2024 bagi BPR dan 2025 bagi BPRS.

OJK mencatat per posisi April 2024 sebanyak 1.206 BPR dan BPRS telah memiliki modal inti di atas Rp6 miliar dengan 103 BPR-BPRS di antaranya bahkan telah memiliki modal inti di atas Rp50 miliar. Dengan kata lain, masih ada pekerjaan rumah untuk sekitar 356 BPR dan BPRS yang masih memiliki modal inti di bawah Rp6 miliar.

Dalam dokumen Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS (RP2B) 2024-2027, OJK menyebutkan BPR dengan modal inti kurang dari Rp6 miliar, secara umum memiliki kinerja yang kurang baik dibandingkan BPR yang sudah memenuhi modal inti.

Berdasarkan analisis otoritas itu, BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp6 miliar diindikasikan memiliki pertumbuhan aset dan kredit yang berada di bawah rata-rata industri, cenderung merugi atau profitabilitas negatif, risiko kredit tinggi, dan governance compliance yang paling rendah—ini juga dapat berkaitan dengan tingkat kejadian fraud dan pencabutan izin usaha.

Oleh sebab itu, aspek permodalan menjadi tantangan paling esensial dan mendasar yang harus diselesaikan BPR dan BPRS. Untuk mencapai ketentuan regulator itu, menurut OJK, BPR dan BPRS dapat menambah laba organik atau setoran modal, menarik investor baru, hingga penggabungan atau peleburan dengan BPR-BPRS lain.

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo memandang, terdapat beberapa tantangan bagi BPR dan BPRS untuk memenuhi ketentuan modal inti salah satunya keterbatasan akses permodalan terutama untuk BPR-BPRS di daerah terpencil yang tidak masuk radar investor.

Tantangan lain, kemampuan BPR dan BPRS yang terbatas dalam menghasilkan laba sehingga akan sulit secara organik meningkatkan modal. BPR-BPRS, terutama yang berskala kecil, juga mungkin tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola penambahan modal inti dan proses konsolidasi.

“Yang utama setelah mengetahui tantangan ini adalah mencari solusi. Di antaranya adalah relaksasi regulasi oleh regulator untuk memberikan kesempatan kepada BPR-BPRS, memfasilitasi akses modal/investor pada BPR-BPRS, dan peningkatan kapasitas manajemen yang salah satunya bisa dilakukan dengan memberdayakan asosiasi,” kata Arianto.

Sejalan dengan penguatan permodalan, OJK mendorong BPR dan BPRS melakukan konsolidasi terutama BPR-BPRS yang berada di bawah kepemilikan atau pengendalian yang sama lewat kebijakan single presence policy. Konsolidasi juga didorong terutama bagi BPR-BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal inti minimum.

Selain dapat memperkuat struktur dan permodalan BPR-BPRS sehingga dapat menjaga stabilitas dan daya tahan terhadap gejolak ekonomi, strategi konsolidasi juga dinilai dapat meningkatkan daya saing BPR-BPRS hasil konsolidasi yang diharapkan mampu bersaing dengan bank umum dan lembaga jasa keuangan lain.

Adapun konsolidasi melalui penggabungan atau peleburan wajib diselesaikan paling lama dua tahun bagi BPR-BPRS non-pemerintah daerah (Pemda) dan tiga tahun bagi BPR-BPRS milik Pemda sejak POJK No. 7 Tahun 2024 berlaku. Nantinya, BPR-BPRS milik Pemda akan berada di bawah naungan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Ini mengingat BPD dinilai memiliki potensi yang lebih baik di dalam konteks penyelamatan apabila sampai terjadi sesuatu pada BPR-BPRS.

Arianto menilai konsolidasi BPR milik pemda ke BPD akan menjadi sinergi produk dan layanan serta basis customer yang lebih luas mengingat BPRD memiliki kemampuan serta keleluasaan menyediakan produk dan layanan perbankan. Dari sisi tata kelola, akan ada peningkatan pengawasan, manajemen risiko, dan akses ke sumber daya yang lebih besar. BPR juga akan mengadopsi ketahanan dan keberlanjutan operasional sebagaimana BPD.

Dari sisi bisnis dan jaringan, konsolidasi dengan BPD akan memperluas jaringan BPR dimaksud. BPD, sebagai contoh, telah memiliki hubungan bisnis yang luas dan berpengalaman dalam mengelola dana pemda sehingga dapat membantu BPR jika menghadapi permasalahan dengan nasabah pemerintah daerah kelolaannya. Konsolidasi ini juga dapat menciptakan sinergi lebih baik antara BPD dan BPR dalam mendukung perekonomian daerah dan masyarakat termasuk UMKM.

Namun dengan konsolidasi yang akan menguatkan BPD tersebut, perlu diperhatikan juga intervensi pemerintah daerah yang berlebihan dapat menghambat BPD hasil konsolidasi beroperasi secara efektif dan responsif terhadap dinamika pasar.
 

Arah kebijakan

Melalui penerbitan peta jalan (roadmap) terbaru pada Mei lalu, OJK menetapkan arah kebijakan pengembangan dan penguatan industri BPR-BPRS untuk jangka menengah yakni 2024-2027. Pada dasarnya, peta jalan ini merupakan penyempurnaan peta jalan sebelumnya yaitu Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia bagi Industri BPR dan BPRS (RBPR-S) 2021-- 2025.

Secara umum, kedua peta jalan tetap menggarisbawahi pilar penguatan struktur dan daya saing, percepatan digitalisasi, penguatan peran BPR-BPRS terhadap daerahnya, serta penguatan pengaturan, perizinan, dan pengawasan. Yang menjadi pembeda, RP2B 2024-2027 terutama lebih menekankan pilar penguatan struktur dan daya saing sebagai upaya untuk memperbaiki permasalahan fundamental pada BPR-BPRS.

Fokus policy highlight dari pilar pertama disebut “quick wins” kebijakan, antara lain, dilakukan melalui penguatan permodalan dan akselerasi konsolidasi serta dilanjutkan dengan penguatan tata kelola dan manajemen risiko dalam rangka mendukung bisnis BPR-BPRS yang berintegritas dan berkelanjutan. Sehingga, tidak heran bahwa OJK saat ini tengah menaruh perhatian pada upaya penguatan permodalan dan konsolidasi BPR-BPRS.

Terkait tata kelola, OJK sebenarnya telah menerbitkan aturan terkait yang tertuang dalam POJK No. 4 Tahun 2015 bagi BPR dan POJK No. 24 Tahun 2018 bagi BPRS. OJK juga telah mengeluarkan aturan terkait manajemen risiko dalam POJK No. 13 Tahun 2015 bagi BPR dan POJK No. 23 Tahun 2018 bagi BPRS.

Namun, sebagaimana dalam dokumen RP2B, OJK mencatat bahwa penerapan tata kelola yang baik pada BPR-BPRS masih tergolong rendah terutama dari sisi kelengkapan struktur direksi dan dewan komisaris. BPR yang tidak memiliki jumlah direksi dan komisaris sesuai ketentuan merupakan BPR dengan modal inti kurang dari Rp6 miliar dan kisaran Rp6 -- 15 miliar.

OJK tampaknya tengah menyempurnakan aturan mengenai tata kelola BPR-BPRS, seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara yang mengatakan bahwa Rancangan POJK (RPOJK) tersebut sedang difinalisasi.

Pembenahan dan penguatan penerapan tata kelola BPR-BPRS, antara lain, diwujudkan dalam penguatan ketentuan terkait dengan pemberhentian/penggantian pengurus, penguatan pengaturan terkait remunerasi dan dividen, penguatan ketentuan dalam pengelolaan BPR-BPRS agar terhindar dari kepentingan manapun, termasuk intervensi pemegang saham.

Selain itu, tata kelola juga mencakup penguatan koordinasi satuan kerja atau fungsi audit intern dengan OJK, pengaturan rencana bisnis untuk mengoptimalkan peran pemegang saham pengendali (PSP) dalam penanganan permasalahan BPR-BPRS, serta penguatan sanksi yang effective, proportionate, dan dissuasive.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan tantangan-tantangan yang bersifat struktural dapat diatasi sehingga industri BPR-BPRS dapat mulai melakukan penataan yang lebih advanced pada aspek-aspek lainnya seperti digitalisasi termasuk di dalamnya ketersediaan sumber daya manusia yang mendukung teknologi informasi, serta peningkatan peran dan kontribusi di wilayahnya.

Akselerasi digital menjadi keniscayaan bagi bisnis perbankan, terutama menemukan momentumnya pada saat pandemi COVID-19. Adopsi teknologi digital diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, memperluas jangkauan layanan, dan bersaing dengan bank lain.

Beberapa tantangan utama BPR-BPRS dalam menghadapi digitalisasi antara lain keterbatasan infrastruktur dan teknologi, termasuk dalam hal menghadapi serangan siber; belum memiliki pengalaman mengembangkan dan mengelola produk/layanan digital; perlu membangun kepercayaan nasabah karena sebelumnya dikenal sebagai bank tradisional yang tidak melayani secara digital; serta kemampuan membiayai operasional digital yang relatif lebih mahal

Di sisi lain, kemampuan literasi digital menjadi hal penting dalam transformasi digital pada BPR-BPRS. Selain mendidik talenta internal, strategi lain yang dapat dilakukan untuk mengakselerasi literasi digital SDM seperti merekrut tenaga ahli dari luar siap pakai. Namun perlu diperhatikan adaptasi dan internalisasi budaya kerja untuk memastikan tidak terjadi benturan budaya yang dapat menghambat digitalisasi tersebut.

Secara geografis dan kultural, BPR-BPRS lebih dekat dengan masyarakat di wilayahnya sehingga diharapkan memiliki peran dan kontribusi yang lebih terutama dari sisi penyaluran kredit dan pembiayaan pada usaha mikro. Saat ini, meskipun bank umum/konvensional mulai menawarkan beragam pembiayaan untuk UMKM, BPR-BPRS dinilai masih memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan.

Kedekatan dengan komunitas lokal memungkinkan BPR-BPRS untuk lebih memahami kebutuhan dan kondisi spesifik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerahnya. Selain itu, BPR-BPRS biasanya memiliki proses pengajuan kredit yang lebih sederhana dan cepat, serta menawarkan pembiayaan dengan syarat yang lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kemampuan UMKM.

Dengan jaringan yang lebih terfokus di daerah tertentu, BPR-BPRS dapat menjangkau dan melayani nasabah di daerah yang mungkin tidak terjangkau oleh bank umum. Meskipun terdapat persaingan dengan bank umum, BPR-BPRS dinilai tetap memiliki ruang untuk berkembang dan berperan penting dalam mendukung UMKM. Melalui inovasi dan menjaga keunggulan kompetitif dalam hal pelayanan personal, fleksibilitas, dan pemahaman lokal, BPR-BPRS dapat terus menjadi pilihan utama bagi UMKM.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024