Fasano (ANTARA) - Selama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Tujuh (Group of Seven/G7), para pemimpin negara anggota berkumpul di Italia selatan untuk mencari titik temu dalam berbagai tantangan, termasuk di antaranya krisis Ukraina dan tata kelola kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Pada Jumat (14/6) sore waktu setempat, kelompok tersebut mengeluarkan sebuah komunike bersama, yang telah menjadi bahan perdebatan dan perselisihan di antara para anggota G7 selama proses penyusunannya.

Menurut komunike itu, kelompok tersebut telah mencapai kesepakatan untuk menggunakan bunga dari aset-aset Rusia yang dibekukan untuk membiayai pinjaman senilai sekitar 50 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp16.395) untuk Ukraina.

Sementara itu pada Jumat yang sama, Presiden Rusia Vladimir Putin mengecam tindakan tersebut sebagai "pencurian" dan bersumpah bahwa tindakan itu memiliki konsekuensi hukuman.

Sebelumnya, G7 telah lama berselisih pendapat mengenai cara merinci rencana tersebut. Rincian kesepakatan pinjaman tersebut masih belum jelas dan dapat memakan waktu berbulan-bulan untuk diselesaikan dalam negosiasi yang akan datang.

Sebelumnya pada April, Rusia mengatakan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan untuk menurunkan tingkat hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat (AS) jika Washington mengambil langkah-langkah praktis untuk menyita aset-asetnya.
 
   Fokus lain dari pertemuan itu adalah masa depan tata kelola AI. Terdapat perdebatan tentang keseimbangan antara mendorong inovasi dan memitigasi potensi risiko. Negara-negara Uni Eropa menganjurkan peraturan AI yang ketat, mendorong kerangka kerja yang mengikat secara hukum, sementara AS lebih menyukai pendekatan yang lebih fleksibel


Meskipun menyebutkan "AI yang aman, terjamin, dan dapat dipercaya," komunike tersebut tidak memiliki langkah konkret menuju pendekatan yang terpadu, mengakui bahwa "pendekatan dan instrumen kebijakan dapat bervariasi di antara anggota G7."

Secara khusus, komunike itu tidak menyebutkan isu aborsi, yang juga menjadi salah satu perselisihan utama di antara negara-negara anggota G7.

KTT tersebut berlangsung pada saat para pemimpin negara anggota menghadapi situasi politik yang sulit di negaranya sendiri.

Beberapa hari yang lalu, Pemilu Parlemen Eropa 2024 digelar, dengan partai-partai yang berkuasa di banyak negara anggota G7 mengalami kemunduran besar.

Suara untuk Partai Sosial Demokrat (Social Democratic Party) pimpinan Kanselir Jerman Olaf Scholz mencatatkan rekor terendah selama pemilu, sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron harus mengambil risiko untuk mengadakan pemilu legislatif baru setelah mengalami kekalahan dari oposisi sayap kanan.

KTT itu mendapat tentangan keras dari warga setempat. Berbagai aksi unjuk rasa terjadi di seluruh wilayah tersebut, dengan para pengunjuk rasa meneriakkan "hentikan perang" dan "kami tidak membutuhkan G7."


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
COPYRIGHT © ANTARA 2024