Semarang (ANTARA) - Ekonom Prof. Dr. Didik J. Rachbini mengemukakan bahwa Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memegang peranan sentral pada masa pemerintahan mendatang, sekaligus menentukan apakah pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6 persen atau lebih.

Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi dan peneliti Indef ini, kegagalan mendorong ekonomi tumbuh di atas 6 persen karena sektor industri tumbuh rendah dan bergerak sangat lambat.

"Ini terjadi karena absen dan kekosongan kebijakan industri dan Kementerian Perindustrian yang dorman," kata Prof. Didik J. Rachbini ketika dikonfirmasi dari Semarang, Selasa.

Selama ini, kata Prof. Didik, Kemenperin berperan sangat terbatas dengan kebijakan yang lemah dan tidak bernilai signifikan untuk memajukan sektor industri.

Secara terus-menerus, kata dia, sektor ini tumbuh di bawah 5 persen sehingga tidak punya daya dorong dan tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi tinggi.

Bahkan, sektor ini justru mandek dengan pertumbuhan hanya 3—4 persen saja. Hal ini, menurut Prof. Didik, menandakan ketiadaan dan absen kebijakan industri. Industri dimatikan karena kebijakan yang surut dan tidak beri kesempatan, ruang, dan dorongan bagi industri nasional.

Jika kebijakan industri terus terjadi seperti selama 1—2 dekade terakhir ini, maka lupakan janji Calon Presiden RI Prabowo Subianto untuk memajukan ekonomi yang tumbuh tinggi akan bisa tercapai.

"Yang terjadi kemungkinan malah sebaliknya, pertumbuhan ekonomi akan selalu di bawah 5 persen karena terseret pertumbuhan industri yang sangat rendah," kata Prof. Didik yang juga
Rektor Universitas Paramadina.
 
Pertumbuhan ekonomi tinggi di Vietnam. ANTARA/HO-Indef


Prof. Didik lantas membandingkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama ini di Vietnam dan India. Mengapa India dan Vietnam berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi? Jawabnya hanya satu, yakni berhasil mendorong industri sebagai lokomotif pertumbuhannya.

Sektor industri di India tumbuh dua digit sehingga menarik ekonomi bertumbuh sampai 7 persen. Sebaliknya, dua dekade terakhir ini, sektor industri Indonesia hanya tumbuh di bawah 5 persen sehingga mustahil bisa menarik pertumbuhan ekonomi sampai di atas 6 persen.

"Mengapa Indonesia selama dua dekade ini gagal mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi?" Didik menjawab, "Jawabnya sama, yakni karena gagal menempatkan sektor industri sebagai lokomotif pertumbuhan dan sekaligus karena Kementerian Perindustrian mandek dan mandul dalam menjalankan kebijakan industrinya."

Prof. Didik lantas menekankan, "Faktor kritis dalam pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Prabowo kelak terletak pada kementerian ini."

Di sisi lain, dia mengungkapkan bahwa ekonomi Indonesia mengalami stagnasi pertumbuhan 5 persen atau di bawahnya karena bertumpu pada konsumsi dan sektor jasa, yang bercampur dengan sektor informal.

Dengan sektor jasa yang tidak modern dan hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga, menurut Prof. Didik, ekonomi kehilangan lokomotifnya, yang pada gilirannya ekonomi bertumbuh rendah atau moderat saja.

Menyinggung janji kampanye Calon Presiden RI Prabowo bahwa pertumbuhan ekonomi sampai 8 persen, Prof. Didik menilai suatu target yang hampir mustahil dengan kebijakan pada saat ini dan kementerian yang tidak berbuat banyak untuk menggubah keadaan.

"Jika ingin berbeda dari pemerintahan sebelumnya, kunci sukses terletak pada sukses atau tidaknya membenahi Kementerian Industri dan kebijakan idustrinya. Tanpa itu Indonesia akan menjadi underdog (tidak diunggulkan) di ASEAN," kata Prof. Didik.

Baca juga: PBD dan BI perkuat kolaborasi percepatan pertumbuhan ekonomi syariah
Baca juga: BI sebut tren inflasi di Indonesia menurun dalam 10 tahun terakhir
Baca juga: BI: Pertumbuhan ekonomi Jakarta masih di bawah nasional

 

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Faisal Yunianto
COPYRIGHT © ANTARA 2024